Song of The Rain

I'm comeback. Ini adalah cerpen fantasy yang mengharukan (atau menyedihkan lebih tepatnya) yang pernah kubuat. semoga bisa di petik maknanya meski ku tahu cerpen ini sedikit akan makna -_-
Sebelumnya, saya mau pamer cover buatan saya. Tapi berhubung saya masih terlalu amatir, mohon dimaklumi jika covernya terlalu gaje.
Terimakasih sudah mau mampir..


Song of The Rain
Aku bersenandung lagu hujan. Mencoba mengenang kembali masa-masa indah bersama orang itu. Orang yang sedang duduk bersimpuh tepat di hadapanku. Menangis tersedu-sedu meratapi sebuah papan bertulisan namaku. Tanpa mempedulikan hujan lebat menyiram tubuhnya.
Di depan nisan itu tersandar sebuah fotoku dengan almamater SMA, sama dengan yang di pakai si gadis. Tanpa terasa air mataku ikut mengalir deras. Bercampur dengan air hujan ini.
Fikiranku melayang ke kejadian beberapa bulan yang lalu. Aku tengah tertawa bersama dengan gadis yang menangis tadi, saat mendapat kado darinya.
“Kamu suka, kan?” Gadis itu tertawa.
“Iya. Makasih. Apapun yang di beri sama Luvia ku tersayang, pasti aku suka.”
Kami tertawa kembali. Namun, tak sampai dua puluh detik kemudian, tawa itu terhenti ketika kepalaku sakit seketika. Aku jatuh terduduk, dan membuat Luvia panik.
“Faisal, kamu kenapa?”
“Ah,” aku berusaha menyembunyikan rasa sakit itu. “kurasa hanya sakit karena kebanyakan fikiran. Tugas kita kan numpuk.”
“Beneran?” kepanikan jelas tergambar di wajah Luvia.
Aku mengangguk yakin. Meski hati merasa was-was.
Aku pergi ke klinik terdekat dari rumah. Sendirian tanpa di ketahui siapapun, termasuk Ibu. Aku takut jika Ibu tahu, ia akan panik dalam hitungan detik. Namun, klinik menganjurkanku untuk memeriksakanku lebih lanjut di rumah sakit. Yang sudah pasti aku tidak mau.
Aku masih berdiri di belakang Luvia, gadis yang ku cinta ini. Ia berdiri, tepat di sampingku. Ku payungi kepalanya dengan tangan transparan ku. Meski ku tahu itu hanya sia-sia. Ia masih terguyur air hujan ini.
Lagi-lagi fikiran itu terbang melayang ke kejadian lainnya. Waktu aku akan berangkat menuju sekolah. Kali itu hujan gerimis mengguyur komplek. Ini adalah musim penghujan, maka tak heran jika hujan selalu turun akhir-akhir ini. Aku seperti kebanyakan lelaki lainnya tak pernah mau membawa sebuah payung meski hujan sederas apapun. Lantas aku berjalan menerobos gerimis itu sambil sesekali berlari kecil.
Tiba-tiba sebuah payung berada di atas kepalaku. Dan dengan senyum indah itu, Luvia melindungiku dari titik-titik air ini.
“Jangan nekat hujan-hujanan begini. Nanti kamu sakit.” Aku menikmati perhatian yang lembut itu.
Aku tersenyum lembut. “Terimakasih. Aku janji tidak akan pernah sakit.”
Hatiku teriris begitu mengingat janji itu. Janji yang begitu mudahnya ku ucapkan, tanpa berpikir apakah aku bisa menepatinya. Bahkan aku tak sempat untuk mempersembahkan lagu hujan yang telah ku janjikan padanya.
Dua hari yang lalu, adalah hari ulang tahunnya. Dia menolak ku beri hadiah dengan alasan kasur nya telah menyempit dijejali belasan boneka dariku (aku memberinya hadiah boneka setiap ia ulang tahun maupun saat berhasil melakukan sesuatu.)
“Baiklah, aku akan memberimu sebuah lagu hujan. Gimana?” senyumnya merekah mendengar janji itu. “beri aku waktu dua hari untuk membuat lagu itu.”
Dan tepat dua hari setelah itu, lagi-lagi aku tak bisa menepati janjiku. Hari ini, di tengah hujan gerimis yang menemaniku pulang sekolah, sesuatu terjadi. Aku tak tahu persis bagaimana. Yang kurasakan hanya sakit yang menusuk kepalaku. Aku jatuh di tengah jalan. Dan siapa sangka, sebuah mobil tak dapat mengelak.
Itu adalah kejadian paling menakutkan sepanjang hidupku. Dan tepat setelah itu, aku berada di sini. Menyaksikan orang-orang yang ku sayangi menangis di depan sebuah gundukan tanah.
“Aku minta maaf.” Aku berbicara dengan Luvi, meski aku tahu itu konyol. “aku tidak bisa menepati semua janjiku.”
“Fais, kamu disini, kan?” tiba-tiba ia bertanya seolah tahu aku ada disampingnya. “aku tahu, kamu pasti sedih karena lagu hujan itu belum sampai ke telingaku. Tapi tak apa. Aku anggap semua itu telah lunas terbayar. Aku juga akan mengenang lagu hujan ini meski aku tidak tahu bagaimana. Pergilah dengan tenang. Jangan khawatir mengenai apapun di dunia ini. Aku cinta kamu, Faisal.”
Air mataku mengalir makin deras. Ku sentuh rambutnya dengan tangan ku, meski sebenarnya tak dapat kurasakan apapun. “Maafkan aku, juga terimakasih.”
Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi minggu depan, ataupun hari esok, atau bahkan satu detik kemudian. Janji adalah perkara yang sangat mudah di ucapkan. Namun, tidak ada yang menjamin apakah kita dapat menebusnya.

Langkah demi langkah ia lalui. Meninggalkan makam ini. Begitupun denganku. Meski berakhir seperti ini, setidaknya aku tahu apa yang dirasakan olehnya sekarang. Dan satu pelajaran yang kudapat. Ku tahu ini terlambat, namun setidaknya tak akan ada yang mendapatkan nasib seperti ini.

Terimakasih sudah membaca... :)

Popular posts from this blog

[REVIEW FILM] Ai Uta: My Promise to Nakuhito (Dari Sudut Pandang Seorang Tokufans)

"POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA" dalam Opini Saya

[REVIEW ANIME MOVIE] Josee to Tora to Sakana-tachi (2020)