Bukan Cinta, tapi Monyet
Aku berdiri sejenak di depan sebuah
gerbang besar dengan tulisan SMK Angkasa Dharma Palembang. Angin pagi berhembus
pelan, membuat ujung-ujung kerudungku yang kubiarkan mejuntai melambai-lambai
kesana-sini. Banyak gadis-gadis dan juga beberapa lelaki sebayaku yang
melewatiku dan masuk ke gerbang hitam yang tampak seperti ingin menelan apapun
di depannya.
Aku menghela napas berat, kemudian
menggeret kaki ku yang tiba-tiba terasa kaku melewati gerbang hingga masuk ke
lapangan basket.
Namaku Sania Dwi. Biasa dipanggil Sani
di sekolah. Umurku genap enambelas tahun bulan Mei lalu. Akhir-akhir ini aku
merasa gelisah. Entah kenapa, seperti ada gumpalan yang mengganjal di sisi
kanan otakku.
Ekor mataku liar hingga mendapati
sesuatu di lapangan parkir yang jauhnya sekitar limabelas meter dari tempat
berdiri ku sekarang. Sebuah sepeda motor matic warna ungu. Dan entah kenapa aku
tersipu malu setelah itu.
Aku berhenti kembali di dua langkah
sebelum sampai di ambang pintu kelas dengan tulisan XI Akuntansi F diatasnya.
Lalu dengan sengaja menolehkan kepala ku ke samping kanan. Dan di kejauhan aku
dapat melihat sesosok lelaki tampan, rambut nya disisir rapi. Aku yakin
rambutnya tak akan berantakan meski badai menerpanya. Kaki nya yang panjang
membuat sosok itu makin sempurna di mataku.
“Oh, Kak Gevy…” gumam ku kagum.
“San?” suara yang memanggil nama
singkatku itu nyaris membuat ku jatuh terduduk. Dini, teman sekelasku tengah
memergokiku di ambang pintu. Ia tersenyum penuh arti.
“Kenapa?” jawabku sambil kembali bersikap
normal.
“Sani, piket jangan lupa!” suara khas
milik Nika terdengar dari dalam kelas.
“Tuh, kamu sudah dipanggil. Sudah dulu
ya memandang Kak Gevy-nya,” seru Dini
kembali sambil menutup sebagian wajahnya dengan bagian jilbabnya yang terjuntai
agar tawanya tidak pecah.
Dan setelah itu ia pergi entah kemana.
Lantas aku berniat untuk segera piket sebelum Fito si ketua kelas mulai
mengeluarkan jurus sindir-menyindir-ria-nya yang menusuk.
***
“Sania, Nina dan Dini, silahkan ke ruang
perpustakaan sekarang,” ujar Bu Sinta, guru mata pelajaran Matematika sekaligus
guru pembimbing kami untuk belajar persiapan olimpiade Matematika.
Ya, benar. Olimpiade Matematika ini akan
diadakan seminggu lagi. Dari kelas ini memang hanya tiga orang. Tapi masih ada
dari kelas lainnya. Termasuk Kakak kelas nya. Ya, termasuk Kakak pemilik matic
warna ungu itu juga.
Lantas aku, Dini dan Nina langsung
menuju ke perpustakaan di lantai dua. Disana kami bertemu sembilan anggota tim
kami. Dan tanpa banyak basa-basi, kami langsung masuk dan belajar bersama.
Dag, dig, dug. Dag, dig, dug. Itulah
yang kurasakan selama belajar. Pasalnya posisi ku duduk saat ini membelakangi
punggung Kak Gevy. “Sadarlah, Sani!” gumamku.
“Kenapa?” tiba-tiba wajah Kak Gevy sudah
di sebelah kiri wajahku.
“A—anu, tidak a—ada apa-apa, kok K—kak,”
jawabku tergagap. Rasanya darahku berhenti mengalir seketika itu juga.
Ia tersenyum. Dan sempurna membuat
tubuhku lemas. Ia kembali menekuni buku Matematikanya nya. Aku pun tak mau
kalah, aku berusaha menekuri buku berjudul Panduan Sukses Olimpiade Matematika.
Dan aku yakin kalian tahu ini sulit. Maksudku sulit untuk berkonsentrasi dalam
situasi seperti ini.
Ya
Allah, semoga hari ini cepat berlalu, doaku dalam hati.
***
Seminggu berlalu. Hari ini kami
mengikuti lomba di SMA Anak Bangsa Palembang. Kami sudah siap di depan gerbang
sekolah, menanti guru pembimbing dan mobil operasional sekolah yang tengah
dipanaskan mesinnya.
“Dek, kita taruhan, yuk,” suara Kak Gevy
membuat lamunanku buyar.
Beberapa hari ini, hubungan kami semakin
akrab. Dia yang awalnya kukira sosok yang dingin dan terkesan seram di suatu
waktu, ternyata di sisi lain dia adalah orang yang hangat, humoris, dan pengertian
– menurutku.
“Taruhan apa, Kak?”
“Kalau kita hari ini menang, kamu
traktir Kakak. Tapi, kalau kita kalah, kamu harus ikutin semua permintaan
Kakak. Bagaimana?” ujarnya penuh semangat sambil memamerkan jari telunjuknya
yang panjang di depan hidungku.
Aku terpesona untuk beberapa detik.
Nyaris aku jawab ‘boleh’ jika aku tak memikirkannya dua kali. “Tapi, Kak. Adek
rugi besar kalau begitu. Bagaimana kalau kita menang, Kakak yang traktir?”
Ia menyeringai karena akal bulus nya
ketahuan. Sesaat kemudian ia tampak menimbang-nimbang. Alisnya tertaut satu
sama lain. Dan berhasil membuatku makin lemas melihatnya.
“Baiklah. Setuju, ya.”
***
“Aku—kalah…” rengekku di depan Ema,
teman sekelasku sekaligus teman ekstrakulikuler PMR-ku. Kemarin kami kalah.
Hanya tim ku yang berhasil masuk ke semifinal. Tapi, tetap saja tak bisa meraih
juara tiga besar. Tapi, yang membuat sakit hati adalah kalah taruhan.
“Jadi?” Ema menelengkan kepalanya, tidak
mengerti.
“Aku harus mengikuti semua yang diminta
Kak Gevy.” Aku meraih ujung-ujung kerudungku yang bebas lalu menutupi seluruh
wajahku. Aku takut jika tiba-tiba mataku berair.
“Oh, ayolah. Ini kesempatan emas, Sani.
Kamu kan selama ini adalah penggemar rahasianya. Ini adalah momen yang paling
jarang dilalui oleh seorang penggemar mengenaskan sepertimu,” komentar Ema
dengan ekspresi tanpa dosa.
Sebelum melanjutkan aku menarik napas
dalam, mencoba mengatur emosi agar tidak meledak di tengah-tengah. Aku membuka
wajahku. “Tapi kalau aku dikerjain bagaimana?”
“Udah biasa, kan? Dia itu Kakak kelas,”
ketus nya lagi. Jika kata-katanya itu adalah pisau, pasti pisau itu sudah
menancap di dadaku dan tembus sampai punggung.
Tiba-tiba, seseorang memanggilku dari
ambang pintu. Suara itu jelas aku ingat milik siapa. Lembut, tapi terkesan
jahil. Tapi aku suka. Begitu aku menoleh dan mendapati lelaki berambut anti
badai itu, nyaris aku tersenyum bahagia bak seorang balita yang melihat Ayahnya
pulang dari kerja selama satu bulan.
Aku mendekatinya yang tersenyum seperti
biasanya. Parfum nya tercium dari tubuhnya yang terbalut seragam pramuka. “Ada
apa, Kak?”
“Ingat taruhannya, kan?” ujarnya, dan
kubalas dengan anggukan kecil, “besok temani Kakak ke pasar, ya.”
“Hah? Kakak mau beli sayur, ya?”
Ia mencibir, “Sembarangan. Ada yang mau
Kakak cari. Sesuatu yang spesial.”
Dan entah kenapa aku merasa kepercayaan
diriku naik ke level paling atas. Jelas aku sangat berharap disini. Lantas
tanpa banyak berpikir langsung saja ku jawab ‘Ya, aku mau, Kak’ dengan semangat
dan tambahan pemanis alami.
***
Aku sampai di sebuah toko yang penuh sesak
oleh boneka dagangannya. Kak Gevy baru saja memarkirkan matic ungu nya tak jauh
dari kami berdiri. Tenyata, semua tempat dimana ia bisa membeli sesuatu ia
sebut pasar. Padahal kukira kemarin Kak Gevy ingin ke pasar di bawah jembatan
Ampera sekalian mampir di pinggiran sungai Musi untuk ber-romantis-ria dengan
ku.
“Ayo, bantu Kakak pilih boneka yang
bagus,” ujarnya sambil mengulurkan tangannya, mengajak masuk.
Aku mengangguk, menyambut tangannya, dan
mengekorinya masuk ke dalam. Suasana disana memang seperti surga boneka. Dari
ukuran terkecil sampai super besar. Objek berwarna merah, kuning, hijau, biru,
jingga, ungu, dan sekawanan lainnya. Bentuk hewan, atau bahkan karakter Anime
kesukaanku –Doraemon juga ada. Semua kulihat tertata rapi disini.
“Yang mana nih, Dek? Kakak bingung?”
ujarnya tiba-tiba sambil memilih boneka di setumpuk keluarga Doraemon.
“Eh? Emang buat apa, Kak?” tanyaku sok
polos.
Ia tersenyum. Lalu mendekat ke arahku
sambil berbisik, “Besok adalah ulang tahun pacar Kakak.”
Dan setelah itu aku merasa seisi dunia
runtuh di hadapanku. Darahku rasanya tersumbat di kaki, tidak sanggup naik
kembali ke jantung.
“Dek?” Ia mencoba menyadarkanku dengan
melambaikan telapak tangannya lima senti di depan wajahku.
“Oh? Em—emang pacar Kakak suka karakter
apa?”
“Doraemon. Karena itu daritadi Kakak
pilah-pilih disini. Tapi semua bagus, Kakak bingung,” jawabnya tanpa dosa.
Aku mencoba menelan semua rasa yang
campur aduk tidak karuan. Lalu mulai memilah Doraemon, Dorami, dan semua Dora
yang ada disana.
“Yang ini saja, bagus,” ujarku seraya
menyodorkan boneka biru dengan baling-baling bambu di atas kepalanya ke hadapan
Kak Gevy.
Ia tersenyum bahagia, lalu menerima
boneka itu sekaligus menangkap ekspresi kesalku. Ia merasa aneh dan berkata,
“Kenapa? Kok jadi lesu?”
Aku hanya mengedikkan bahu dengan malas.
“Aku tunggu diluar ya, Kak. Bosen liat
boneka sebanyak ini,” ujarku lalu pergi tanpa menghiraukan nya.
Aku keluar, menuju tempat parkir. Aku
duduk di jok matic ungu Kak Gevy. Rasanya mau nangis. Tapi malu.
Sekitar sepuluh menit menunggu, Kak Gevy
datang dengan bungkusan boneka milik pacarnya. Ia tersenyum menatapku.
“Nih, buat kamu,” ujarnya seraya
menyodorkan sebuah bungkusan berwarna putih, “terimakasih ya sudah mau temani
Kakak belanja.”
Aku membuka bungkusannya. Dan mendapati
boneka monyet kecil berwarna merah muda. Aku makin lesu. Cintaku dianggap
monyet, dan—
“Kenapa? Tidak suka, ya? Maaf, Dek.
Kakak tidak punya uang untuk beli boneka yang besar, mahal.”
—juga murah.
Dan, inilah kisah seorang penggemar
rahasia, dan mengenaskan—jangan lupa. Dan setelah itu aku kembali ke posisiku
sebelumnya. Harusnya aku memang tak patut mengharapkan Kakak kelas kece itu
–mengingat aku hanya gadis yang kelewat biasa.
Apa aku menyerah? Tentu tidak. Aku tetap
menjalani hari-hari dengan belajar agar meraih prestasi di setiap semester nya.
Tentang Kak Gevy? Sampai sekarang aku masih sering meliriknya setiap sebelum
masuk ke ruang kelas.
***
huwaaaa~~ lama gak update disini. maafkanlah saya. Alhamdulillah saya kembali. semoga saya tidak kehilangan readers saya. Amin. karena lama saya menyelam, kini saya kembali dengan ilmu yang baru.
next post, saya mau bagi-bagi teks monolog (insyaAllah) dengan misi membuat readers sekalian menangis. setia menunggu, ya.
ohya, maaf nih, saya gak sempet buat cover. haha... dont forget to comment.