KENANGAN SATU JALAN

hay... maafkan saya yang telah lama menghilang. tapi, saya masih ingin berada di sini, kok. langsung saja ke cerita saya yang satu ini. oh iya, untuk seseorang disana yang merasa kenangannya saya pakai untuk cerita ini, mohon maaf sekaligus saya ucapin terimakasih banyak. haha. next, cekidot!


KENANGAN SATU JALAN

Selangkah meninggalkan gerbang sekolah, setitik air hujan membasahi dahi ku. Kupandang langit, ada awan hitam di sana. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun.
Seperti hari-hari biasanya, aku selalu sendiri dalam perjalanan pulang menuju rumah. Itu membuatku selalu menikmati perjalanan dengan bermain bersama kenangan-kenangan indah ku lima tahun yang lalu.
Waktu itu, aku baru mendaftar di sekolah menengah pertama. Ditemani oleh Ibu, aku mendatangi dan mengisi formulir yang disediakan. Dan tepat setelah itu, aku bertemu seorang lelaki sebayaku. Seseorang yang tak ku sangka akan mewarnai hari-hariku selanjutnya.
“Hai, namaku Zidan,” sapanya.
“Aku Erin.”
“Salam kenal, Erin.”
Sejak itu, aku akrab denganya. Tidak, tidak semudah itu. Kami sering bertengkar, berbeda pendapat, atau bahkan saling merasa cemburu. Tapi tak satupun dari kami yang mau mengambil satu langkah ke depan.
Aku terus berjalan menyusuri trotoar di samping jalan raya. Puluhan kendaraan bermotor telah melewati maupun berpapasan dengan ku. Seorang anak lelaki gendut berhasil melewatiku. Terbukti bahwa aku lebih lambat daripada seorang bocah gembul.
Aku menyebrangi jalan, mampir kesebuah toko ATK. Membuka freezer, lalu mengambil sekotak susu UHT rasa coklat ukuran sedang. Entah kenapa aku ingin sekali menelan sesuatu berasa coklat. Setelah membayar, aku menusuk bagian bulat berwarna abu-abu dengan sedotan, lalu menghisap susu coklat itu. Setelah merasa lebih baik aku melanjutkan perjalanan ku.
Beberapa titik air hujan mulai berjatuhan. Tapi, seakan tak peduli, aku tetap melanjutkan perjalanan. Kembali aku mengingat kejadian itu—kejadian dengan suasana yang sama.
Kala itu, gerimis mulai turun di pagi hari. Aku pergi ke sekolah dengan sebuah payung agar terlindung dari titik-titik air hujan ini. Di ujung jalan, aku melihat siluet yang sangat ku kenal. Aku yakin, itu pasti Zidan.
“Zidan,” panggilku.
Ia menoleh, dan tersenyum begitu mendapati sosokku yang berlari menghampirinya. Begitu sampai di sisinya, aku membagi payung bersamanya.
“Sini, aku yang pegang. Daripada kamu jinjit biar gak nyantol di kepala aku. Kamu kan pendek,” ujarnya seraya merebut pegangan payung. Setelah itu aku memukul lengannya.
Dan kami kembali berjalan menuju sekolah, dengan tawa kecil terdengar santai diantara kami berdua.
Aku terus berjalan sambil menyesap kotak susu UHT ku yang sekarang terasa lebih ringan. Ku kocok kotak tersebut di dekat telingaku. Masih ada. Tapi, begitu aku sedot kembali, ternyata itu adalah tegukan terakhir.
Setelah mengocok sekali lagi (dan ternyata sudah kosong), dengan kesal ku buang kotak itu di sebuah tong berwarna biru di pinggir jalan. Dan kembali aku menyelam dalam kenangan lainnya.
Waktu itu aku tengah duduk di sebuah kelas sederhana—tempat di mana aku menuntut ilmu waktu itu. Di pangkuanku sudah ada sebuah amplop putih dengan loreng merah dan biru di tepiannya. Tiba-tiba seorang teman, Nina, datang dan duduk di sebelahku.
“Pagi, Rin.”
“Pagi.”
“Kenapa? Kok lesu banget?” tanya nya kemudian.
Aku hanya menggeleng sambil sesekali menekan senyumku seadanya.
“Kenapa? Karena Zidan sakit, ya? Jadi gak bisa ketemu gitu?”
Aku terdiam. Memandang ke arah bangku yang biasa diduduki oleh Zidan. Bangku itu kosong meski kurang dari lima menit lagi bel akan segera berbunyi. Yang datang hanya surat ini yang sejak tadi kutimang-timang. Surat izin dari Zidan.
Menurut surat ini, ia terkena gejala demam berdarah. Ia dirawat di rumah sakit sejak semalam. Aku ingin sekali menjenguk nya. Tapi, entahlah. Aku tak tahu bagaimana mengatakan suasana hatiku.
“Mau ikutan jenguk?” ajak Nina tiba-tiba.
“Tapi,”
“Lagi marahan, ya?” ujarnya, tembak langsung. “sudahlah. Gak baik bohongi diri sendiri.”
“Apaan, sih?”
“Udah, gak usah ngelak deh. Pulang ini, kita langsung pergi ke rumah sakit. Oke?”
Tanpa lama menunggu ia sudah mengambil keputusan setuju dari ku. Aku pun tak banyak membantah karena aku memang ingin sekali melihatnya meski hanya bertatap mata selama beberapa detik.
Setelah bel pulang berdering, aku langsung melesat kearah Nina dan teman-teman yang telah siap berangkat ke rumah sakit. Sepanjang jalan hanya Zidan yang bermain di kepalaku. Memikirkan segala kemungkinan rasa sakit yang tengah ia rasakan sekarang ini.
Kurang lebih limabelas menit perjalanan dengan kendaraan bermotor, kami sampai di rumah sakit tempat Zidan dirawat. Kami langsung saja pergi ke kamar dimana Zidan berada. Paviliun Kenanga, kamar 07.
Begitu masuk, yang pertama ku lihat adalah seorang perempuan paruh baya yang seingatku adalah Ibunya tengah duduk mengupas apel di sisi ranjang. Yang langsung tersenyum lebar begitu melihat kami datang.
Setelah bersalaman, aku tak bisa mendengar lagi percakapan antara Ibu Zidan dengan teman-temanku. Mataku terpaku pada Zidan yang terbaring lemah di ranjang lengkap dengan selang infus di lengannya.
“Jangan khawatir.” Tiba-tiba suara Ibu Zidan mengangetkanku, “ia tidak apa. Ia hanya sedang tidur.”
Aku hanya menatap Ibunya, kemudian ia mengangguk lembut seolah tahu aku bertanya ‘benarkah, Tante?’
Tiba-tiba Zidan bergerak. Ia bangun karena suara ribut dari mulut kami. Dan mata kami langsung saja bertemu.
“Erin?”
Lalu ia tersenyum.
“Kayaknya Tante harus keluar dulu, nih,” ujar Ibunya.
“Iya, kita juga kayaknya, Tan,” seru temanku yang lain.
Sebelum sempat aku tanya kenapa, mereka sudah hilang dan yang tersisa hanya aku dan Zidan.
Zidan masih menatapku. Matanya penuh dengan kesedihan.
“Maaf karena semalam aku tak bisa menemuimu.”
Ia mengungkit masalah semalam. Kami memang berjanji untuk bertemu di sebuah taman tak jauh dari rumahku. Tapi, mendadak aku mendapat kabar ia masuk rumah sakit tepat setelah satu jam aku merenung di bangku taman di sana.
“Tak masalah, kok. Jangan dipikirkan. Yang penting kamu sembuh.”
Ia tersenyum. Dan kubalas dengan senyum termanis yang pernah aku miliki.
Sebuah mobil menekan klaksonnya panjang hingga membuatku terlonjak kaget dan kembali ke mode perjalanan panjangku ini. Karena susu UHT ku sudah habis, aku jadi lesu kembali.
Mataku nanar hingga menangkap seorang anak kecil berkuncir dua di kejauhan tengah menangis di pinggir jalan. Aku mempercepat langkah ku berniat menolong nya. Tapi, aku mengurungkan niatku karena tiba-tiba seorang lelaki besar menghampiri nya. Kurasa itu Ayahnya.
Entah apa yang ia katakan, anak itu menangis makin keras. Hingga akhirnya lelaki itu menggendongnya meski si anak terus meronta sambil memukuli pundaknya. Sekilas aku berpikir ia penculik jika aku tak ingat kalau ini ada di tengah keramaian jalan raya. Bahkan seorang pengendara sepeda motor ikut berhenti untuk menyaksikan kejadian dramatis itu.
Aku kembali ke dunia kenangan ku. Kala itu aku juga menangis sekeras anak tadi. Di depanku ada Zidan yang terbaring di aspal dengan darah mengucur deras dari kepalanya.
Sebuah sepeda motor menabrak kami yang tengah berjalan di trotoar. Dan Zidan, ia yang melindungiku. Itu berlalu dengan cepat. Aku hanya ingat setelah ia menyatakan perasaannya yang tertahan, aku tersungkur di semak pinggiran jalan. Dan begitu aku menoleh ke arahnya, ia telah berguling di aspal itu.
Bahkan sekarang aku tak ingat lagi kejadian itu. Yang jelas sejak waktu itu aku tak bisa bicara karena syok. Hingga sekarang.
Aku berhenti di persimpangan. Jalan ke kanan adalah jalan menuju rumahku. Tapi, aku malah ingin pergi ke jalan sebaliknya. Aku pun mengikuti hatiku dan akhirnya sampai di sebuah taman pemakaman. Lalu, hujan turun dengan deras.
Setelah kejadian itu, Zidan pergi. Dan tak akan kembali.
Zidan, satu-satunya lelaki yang pernah mengisi hatiku. Yang selalu bisa membuatku tersenyum. Selalu mengisi hariku di balutan dunia putih biru.
Zidan, terimakasih karena telah mewarnai setiap hariku bahkan saat kau tak ada. Kau akan selalu hidup di dalam kenangan satu jalanku ini.

***

Popular posts from this blog

[REVIEW FILM] Ai Uta: My Promise to Nakuhito (Dari Sudut Pandang Seorang Tokufans)

"POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA" dalam Opini Saya

[REVIEW ANIME MOVIE] Josee to Tora to Sakana-tachi (2020)