[CERPEN] Love Is Blue
Yap! Saya kembali. Kini saya
menciptakan sebuah karya yang telah dipesan oleh teman saya. Kisah cintanya
yang absurd karena terhalang banyak hal dan ternyata sekarang ia menyerah dan
berniat untuk move on!
Haha. Maaf, maaf. Saya terlalu
banyak mengejeknya dan tidak ingat bahwa kisah cintaku juga absurd.
Ok! Cerita absurd ini didedikasikan
kepada teman saya @Rahmape. Semoga cerita absurd ini menghibur pembaca semua. Terimakasih!
Love Is Blue
Ku
mantapkan hati ketika berdiri di sini. Di depan sana terlihat sebuah gerbang
besar berwarna merah di lapisan pagar luar dan berwarna hitam di lapisan
keduanya. Itu adalah sekolahku. Sekolah yang katanya ditunjuk sebagai sekolah
rujukan ini sudah menjadi tempat ku menuntut ilmu selama hampir dua tahun ini.
Aku
berjalan menyusuri lobi, kemudian langsung bertemu dengan sebuah lapangan
basket yang dikelilingi gedung kelas bertingkat dua. Tak sampai satu menit
setelah itu, aku menemukan kelasku. Kelas itu sudah ramai. Yah, aku memang
bukan tipe anak yang bersemangat untuk datang terlalu pagi.
“Pagi,
Salma,” sapa seorang teman padaku.
“Pagi.”
Aku pun melanjutkan langkahku menuju tempat duduk ku. Ada di barisan ketiga
dari pintu depan dan baris ketiga dari papan tulis.
Karena
tak tahu harus melakukan apa, mataku nanar hingga mendapati sosok seseorang
yang mengenakan sweter berwarna biru. Seseorang yang baru-baru ini selalu
menarik hatiku. Dan juga seseorang yang mampu membuat jantungku berdetak dua
kali lebih cepat ketika mataku dan matanya bertemu.
Namanya
Rafa. Bisa dibilang aku adalah secret
admirer-nya. Dia ketua Majelis Permusyawaratan Kelas, alias MPK, yang
kebetulan sekelas denganku. Selain itu, dia juga ketua umum dari salah satu
ekskul ngetop di sini. Basket.
Oh,
yang benar saja. Baru selesai aku bilang, kini kami sungguh bertemu pandang.
Dia tersenyum seperti biasa, dan ku balas dengan senyum sekenanya.
“Kak
Rafa…” Tiba-tiba seorang gadis datang, masuk ke kelas, dan mendekati Rafa. Yang
entah kenapa kepalaku langsung terasa pusing.
Dia
Mela. Seorang gadis rupawan dan menawan dari kelas satu tingkat di bawahku.
Cantik, populer, pintar. Dan yang paling penting, dia pacar Rafa. Ku perjelas
lagi, gadis itu adalah pacar Rafa.
“Eh,
Mel.” Kemudian mereka menghilang dari penglihatanku.
Oh,
ada apa denganku sebenarnya? Aku ini hanya seorang gadis dengan perasaan
terselubung yang sama sekali mustahil untuk mengharapkan posisi yang lebih dari
sekadar penggemar rahasia. Sekali lagi, mustahil.
“Ehem!”
Suara
itu mengejutkanku hingga tanpa sadar aku menjatuhkan botol air minumku yang
entah sejak kapan berada di tanganku.
“Mandangin
Rafa?” Ternyata itu Zia, teman sebangku ku.
“Sialan,
lo! Siapa yang mandangin juga?!”
Tanpa
menjawab, ia hanya menunjukkan seringainya yang membuat bulu romaku berdiri.
Maksudku, seringainya membuatku takut ia akan berbuat sesuatu seperti berteriak
kalau ‘Salma tadi ngeliatin Rafa!’
Oh,
Salma. Sudahlah. Dia tak akan berbuat seperti itu karena jika ia begitu akan
kubunuh dia.
“Oh,
ngomong-ngomong, hari ini jaketnya samaan,” serunya dengan suara yang lumayan
keras sembari menunjuk jaketku yang berada di atas meja.
“SIALAN,
LO, ZI!!”
***
Siang
telah datang. Dering bel tanda berakhirnya pelajaran sudah berbunyi sekitar
tiga puluh menit yang lalu. Tapi, aku masih belum beranjak dari sekolah ini.
Yang aku lakukan adalah duduk di sebuah bangku taman di depan kelas, sambil
memandangi beberapa siswa laki-laki yang tengah bermain dengan bola basket.
“Pandangin
terus…” Zia melewatiku. Tapi tak ku gubris sama sekali. Otakku hanya terisi dengan
aksi Rafa bersama bolanya.
“Cinta
beneran bikin orang lugu jadi alay,” ujar Zia yang tiba-tiba berada di
sampingku.
“Apaan,
sih, lo?”
“Lo
pasti lagi mikir, andai tu bola tiba-tiba jatuh nimpuk kepala lo, kan? Terus,
Rafa bakal bantuin lo dan bilang ‘Sorry,
Sal, gue gak sengaja’, gitu, kan?”
“Lo
gila, ya?”
“Udah,
deh, Sal. Kalo aja ini sinetron, jalan cinta lo sama si jaket biru itu bakal
dikasih judul ‘Love Is Blue’ sama author-nya.”
Lalu ia pergi tanpa mengatakan sepatah kata apapun. Dia memang aneh. Temanku
paling aneh.
Memang apa salahnya kalo cinta gue
warnanya biru? Kan gak semua warna biru maknanya menyedihkan, gerutuku
dalan hati.
Kembali
ke mode hayalan. Jujur, ya. Tadi Zia memang benar. Aku sempat memikirkan hal
itu. Malah lebih parahnya, aku pernah berharap bahwa aku adalah tulang rusuk
Rafa yang hilang.
Tunggu,
aku disini bukan hanya untuk memandangi Rafa main basket. Tapi, aku juga ada
ekskul hari ini. Ekskul yang ku ikuti adalah badminton. Dan benar saja. Zia dan
teman-teman yang lain sudah bersiap dengan raket di tangan masing-masing.
***
Aku
merebahkan tubuhku di ranjang kamarku. Pikiranku melayang-layang seiring detik
demi detik berlalu. Tapi, tetap saja pikiran itu bermuara ke wajah Rafa.
Aku
sempat memejamkan mataku sesaat sebelum ponselku yang ada di atas nakas
berdenting tanda pesan masuk. Dengan malas aku bangkit dan mengambil ponselku.
Dari
Zia. Ia menanyakan tugas dan pekerjaan rumah yang akan dikumpulkan besok. Dia
bilang dia lupa karena tidak mencatatnya.
Dasar pikun!
gumamku dalam hati. Dengan malas ku jawab pesan itu.
[Sorry, Zi. Lagi males buka buku. Ntar
malem aja, ya.]
Aku
merebahkan lagi tubuhku yang sudah terasa kaku karena latihan tadi. Setelah
itu, kembali ponselku berdenting. Kenapa Zia bisa balas pesan secepat itu, sih?
Dengan malas aku buka pesan. Tapi, ternyata itu dari Rafa.
Dan
benar saja. Aku langsung terlonjak senang begitu melihat pesan itu. Dengan
cepat ku buka lalu ku baca. Ia menanyakan tugas untuk besok. Pertanyaan yang
sama dari yang diajukan oleh Zia tadi.
Aku
langsung berlari ke meja belajarku, mencari daftar tugas ku, dan membalas pesan
itu dengan cepat.
Tepat
setelah itu, entah kenapa aku langsung merasa bersalah pada Zia.
***
Aku
berjalan menyusuri koridor kelas. Mencari sosok Zia dan berniat untuk meminta
maaf. Tapi sayang, dalam pencarian tersebut aku justru menemukan Rafa bersama
Mela tengah berdua di koridor kelas di lantai dua. Aku menyalahkan mataku yang
terlalu liar hingga menangkap hal-hal yang terkadang tak ingin aku lihat.
Setelah
beberapa saat mencari, akhirnya aku menemukan Zia tengah memandangi seseorang
di kejauhan. Jelas dia sedang memperhatikan seorang lelaki idolanya.
“Ehem!”
seruku dari belakang.
Ia
terlonjak kaget, lalu memasang tampang kesal, dan kembali ke mode pengintaian
nya.
“Pandangin
terus aja Kak Egi sampe abis!”
“Sirik,
lo?!”
Aku
mengernyitkan dahi. Mendadak aku merasa kesal dan mengurungkan niat untuk
meminta maaf. Kemudian aku duduk di sampingnya.
“Kesel!
Gue liat si sensor lagi berduaan sama si sensor nya lagi!” keluhku.
“Ya
biarin. Orang mereka pacaran. Lo sirik?” sahutnya dengan nada tak jauh beda
dengan yang sebelumnya.
“Lo
lagi PMS?”
Dia
tak menjawab. Ia masih terus asyik mengintai Kak Egi sambil terkadang tersenyum
sendiri. Membuatku merinding melihatnya.
Dengan
kesal aku bangkit dan berniat masuk ke kelas. Tapi, Zia tiba-tiba
menghentikanku.
“Ada
kabar burung, Rafa sama Mela lagi gak akur.”
Suaranya
agak keras. Dan entah sejak kapan, di sampingku sudah ada beberapa teman sekelasku
yang tengah berbincang ria. Dengan sekejap aku menepuk bahunya.
“Jangan
keras-keras!”
Ia
menghela napas berat. Lalu kembali melanjutkan kata-kata nya.
“Ada
kabar kalo si jaket biru dan permaisurinya lagi gak akur.”
“Jadi?
Apa masalah nya sama gue?”
“Loh?
Ya kesempatan lo terbuka, dong.”
Aku
melongo, mengerjapkan mata beberapa kali, lalu mengutuki diri karena sempat
berkata ‘Hore’ di dalam batin.
“Lo
gak mau?” tanya Zia, membuatku kaget.
“Mustahil.
Gue menyadari satu hal, lebih baik lo punya pagar rumah yang sederhana
ketimbang berusaha buat dapetin pagar mewah nan tinggi yang pada akhirnya lo
gak bisa bayar pajaknya.”
“Maksud,
lo?”
“Gue
sudah cukup bahagia. Menjadi penggemar rahasianya, dan berteman baik dengannya,
itu lebih baik daripada ingin menjadi pacarnya yang pada akhirnya akan menjadi
musuh saat putus.”
Entah
darimana itu berasal, kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku hanya
merasa kalau aku tak berhak memanfaatkan situasi tegang mereka hanya untuk
memenuhi hasrat suka ku pada Rafa. Itu terlalu kejam.
Zia
tersenyum. Fokusnya pada Kak Egi telah ia enyahkan. Kini ia sepenuhnya
memperhatikanku yang mendadak bijak.
“Kayaknya,
judul sinetron ini memang ‘Love Is Blue’. Karena lo sampai di garis finish yang letaknya ada di garis start,” ujar Zia.
“Gak,
gak. Lo salah, Zi,” sahut ku, “pengorbanan yang kita lakuin demi kebaikan orang
lain akan membawa kebahagiaan kita sendiri. Karena hati kita akan tenang.”
“Lo
abis semedi dimana kemarin? Gue jijik ngeliat lo yang sok bijak kayak gini,”
ujarnya pada akhirnya.
“SIALAN
LO, ZI!!!”
***