Sekeping Hati yang Berdebu
Hoy hoyy... saya bawa karya baru nih... yap, cekidot langsung saja lah ya. pemanis, cover sederhana.
selamat membaca..
“Tentang sebuah rasa yang tak
pernah terjamah. Hingga yang ku mampu, dan yang sanggup ku lakukan hanyalah
terus menorehkan tintaku di atas kertas yang selalu menemaniku dimanapun dan
kapanpun, sembari terus memasang tawa tertulus kala di hadapan mu seperti
laiknya tak terjadi apa-apa.”
Kembali
kupandangi secarik kertas yang baru saja kudaratkan setitik ujung penaku di
atasnya. Selembar kertas dengan rangkaian kata sederhana, yang mewakili ribuan
rasa terumit yang tak akan pernah terungkapkan.
“Bagiku, memiliki rasa ini adalah
sebuah anugerah. Meskipun aku tahu bahwa punguk tak akan pernah bisa menemui
bulan. Ini hanya akan menjadi sebuah mimpi yang tak pernah usai bagiku.”
Dari
tempatku berdiri sekarang, aku mampu melihatmu. Melihat lengkungan bibirmu yang
seakan tak pernah lelah kau pamerkan kepada orang-orang di sekitarmu. Yang tak
akan ada seorangpun yang tak menyukainya. Termasuk aku, yang telah jatuh hati
pada senyuman indah itu. Hingga secercah harapan terucap dalam hatiku, semoga
kau melihatku yang juga tengah memandangimu.
Kulipat
kertas yang ada di hadapanku, yang menjadi tempatku menumpahkan segala rasa tak
berarti ini, menjadi lipatan kecil. Aku ingin menyelipkannya di sudut jendela
ini. Kemudian aku ingin melihatnya jatuh, dan bercampur dengan tumpukan daun
yang mengering. Seperti rasa ku yang mungkin telah berdebu tersimpan dalam
relung hati paling tak terjamah.
Pernah
sekali aku tertawa bersamamu. Dan itu telah dinobatkan sebagai momen terindah
bagiku. Kala itu kau bilang kau baru saja mengakhiri sebuah hubungan dengan
seorang gadis. Gadis yang jelas sangat amat tak kusukai, tapi tak ada alasan
untuk ku benci. Hingga aku memutuskan untuk menghiburmu, agar diriku pun tak
akan menangis di hadapanmu karena ceritamu itu.
Tanpa
ku sadari, kau telah berada tepat di hadapanku. Kau melemparkan senyum manismu
seperti biasa. Yang tentu saja dengan senang hati aku membagi tempatku untuk mu
duduk di sebelahku.
“Apa
yang kau buat? Sebuah cerpen baru?” tanyamu kemudian.
“Ah,
tidak. Aku hanya melipat kertas untuk mengganjal jendela.”
Segera
ku selipkan lipatan kecil perasaanku itu di sudut jendela, membuat daun jendelanya
tertahan untuk tertutup.
“Mengapa
begitu?” tanyamu, penuh kebingungan.
Aku
hanya membalasnya dengan tersenyum setulus-tulusnya senyum. Tiba-tiba angin
bertiup lebih kencang, membuat daun pintu itu terbuka lebar. Dan jatuhlah
lipatan kecil rasaku itu di tumpukan daun kering—di bawah jendela itu.
“Ganjalanmu
kurang tebal,” komentarmu kemudian.
“Tidak, memang itu yang ku inginkan
sejak awal. Membiarkannya jatuh tertumpuk dedaunan kering, yang merupakan analogi
hatiku yang telah berdebu.”
Demikian
jawabku dalam hati.
Kembali
kau tersenyum. Kau bergegas menuju tempat dimana ransel mu berada. Kau
mengaduknya, kemudian mengambil sebuah kertas. Kau melipatnya, menggantikan
ganjalan jendela ku.
Kau
sangat peduli padaku, tapi aku yakin tak akan ada diriku bahkan sekadar ujung
kuku ku ada dalam hatimu. Kau hanya menganggapku seorang gadis lugu. Hingga kau
tertarik untuk menjagaku, namun bukan cintaku.
“Mengapa
wajahmu begitu? Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku?” tanyamu
lagi.
“Tidak.
Tak ada apa-apa.”
“Kalau
begitu, aku ingin pergi ke kantin. Mau ikut?”
Aku
tersenyum, menggeleng, menolak dengan tulus setulus-tulusnya. Untuk apa aku
pergi ke kantin bersamamu? Semua orang hanya akan menganggapku parasit yang
menempel—mengharap traktiran dari mu.
“Ya,
kalau begitu, aku pergi dulu. Nanti aku bawakan es susu kesukaanmu,” jawabmu
lagi.
Kau
berbalik tepat setelah melemparkan senyumanmu itu. Dan lagi-lagi, aku hanya
mampu memandangi punggungmu yang kian menjauh. Jauh sekali, hingga rasanya tak
mungkin mampu kugapai.
***