[SEKUEL] Sepedaku dan Sepedamu
Yo! Sebuah sekuel dari kumcer di akun wattpad saya, Sepeda dan Cerita Kita, didedikasikan buat kenalan saya di wattpad (ngaku2), Mbak saarahsalsabil. Semoga terhibur.
Selamat membaca!
*****
Sepedaku dan Sepedamu
“Sekar,
aku sayang sama kamu.”
Entah
apa yang terjadi sama gue, tapi gue senyum sendiri mendengar kalimat itu. Kalimat
yang keluar dari mulut orang itu. Orang yang hampir bikin gue gila setiap
harinya.
“Sekar,
aku lupa namaku. Coba beritahu aku!”
“Kamu
Karno. Masa kamu lupa, sih? Aneh, deh.”
Dia
malah nunjukkin wajah malu-malu, karena gue tahu yang pengin dia dengar bukan
namanya, tapi panggilan ‘kamu’, dari gue, buat dia. Sambil terus mengayuh
sepeda, kami tetap dalam suasana hangat ini.
Tapi,
lama-lama gue risih. Orang-orang sekarang melihat tingkah Karno yang mulai
aneh. Ia menyilangkan tangan kanan nya untuk memegang kemudi kiri dan begitupun
tangan sebaliknya.
“Kalau
panggilan ‘aku-kamu’ bisa bikin kamu idiot, aku bersumpah akan balik lagi kayak
dulu,” kata gue pelan sambil tersenyum seram.
Dia
sedikit memundurkan kepala. Ngeri.
“Kenapa?
Takut aku gigit kepalanya?” Gue berusaha menggodanya.
“Bagiku,
ketimbang aku kehilangan panggilan ‘aku-kamu’ lebih baik aku kehilangan
kepalaku karena kau makan, Sekar.”
“Tambah
gede, kamu tambah alay, ya?”
Dia
tertawa. Dan itu buat gue ikutan ketawa. Sejak tamat sekolah, gue memutuskan
buat masuk ke universitas yang direkomendasikan oleh Mama nya Karno. Dan tentu
saja Mama setuju. Akhirnya gue ambil jurusan Akuntansi.
Karno
pun masuk ke universitas yang sama. Otak sederhananya ternyata tak membuatnya
ragu untuk memasuki fakultas hukum. Ia memiliki keyakinan yang luar biasa dengan
hal politik ketika mendaftar di sana.
Dan
gue mau menjelaskan suasana yang telah terbentuk selama ini. Sudah setahun,
kami resmi pacaran. Ya. Pacaran. Oh tidak, aku mulai malu untuk sekarang. Waktu
itu ia mengatakan kata sayang dan membuang jauh-jauh kelakuan idiot nya.
Gak
percaya? Gue aja masih memastikan apakah itu kenyataan atau cuma mimpi.
“Sekar.”
“Ya?”
Karno
menghentikan sepedanya. Kemudian benar-benar memarkirkannya di bawah sebatang
pohon. Gue pun mengikutinya.
“Mau
ngapain, sih?” tanya gue, sok-sok penasaran.
Ia
memegang pergelangan tangan gue. “Mumpung lagi libur, seharian kita main disini,
ya.”
“Apa
enaknya main di sini? Kamu tahu kan ini taman bermain?”
“Ya,
aku tahu.” Ia mengangguk. “kita kan bisa main perosotan. Atau main
pasir-pasiran. Ntar siangan dikit, anak-anak disini kan banyak. Lucu-lucu
lagi.”
Gila.
Gue yakin dia adalah satu-satunya mahasiswa universitas yang idiot. “Ogah.”
Gue
berniat ninggalin dia sebelum akhirnya gue sadar akan sesuatu. Sepeda gue gak
ada!
“Karno!”
Gue menoleh ke arah Karno yang ternyata sama terkejutnya.
“WOI!
BALIKIN SEPEDA CEWEK GUE!!”
Ia
langsung menaiki sepeda lipat milik nya dan mengejar orang yang ia yakini
sedang mengendarai sepeda gue. Gue mencoba ikut mengejar dengan berlari. Tapi
percuma.
Sebenarnya
kenyataan sepeda gue hilang gak lebih ngagetin ketimbang ngeliat kejantanan
Karno lepas begitu aja.
Dan
disini, tinggallah gue yang kebingungan (entah karena kejantanan Karno atau
harus melakukan apa). Gue mencoba menghubungi Mama dan memberitahunya tentang
kejadian gila ini. Dan Mama menyuruh gue untuk tetap tinggal. Ia akan lapor
hansip kompleks agar dibantu mencarinya.
Salah
satu yang bikin gue takut bukan karena gue bakal kehilangan sepeda gue. Tapi,
Karno. Maksud gue itu Karno. Emang dia bisa apa? Pake sok-sok-an ngejer gitu.
Kalopun si maling nya dapet, adanya malah dia yang babak belur digebukin si
maling.
Gue
lari mencari Karno sambil terus bertanya-tanya pada orang-orang di sekitar
apakah melihat cowok idiot mengejar pencuri sepeda. Dan orang-orang gak bakal
ngerti siapa pesepeda idiot itu.
Napas
gue udah gak beraturan lagi. Tapi masih belum menemukan Karno. Entah apa yang
sebenarnya gue rasain, yang jelas gue panik.
Dan
sampailah gue di sebuah pertigaan jalan. Di ujung jalan yang berhasil gue
tangkap dengan bola mata, dua sepeda manis yang sangat gue kenal tengah
berguling bersama di trotoar. Gue berlari sekencang-kencangnya menuju tempat
itu.
“Karno!”
Gue
menghampiri Karno yang tengah terkapar di sebuah lapangan yang tak kuketahui
sebelumnya. Dan gue beneran panik.
“Karno.
Kamu gak apa?”
Bukannya
jawab, dia malah senyum sambil menunjukkan ibu jari nya di depan hidung ku. Di
ujung mata sebelah kanannya sedikit lebam. Dan juga ada sedikit noda darah di
bibir nya.
“Kamu
berantem?”
“Nggak
lah. Emangnya aku bisa?”
Gue
cuma bisa membantu dia bangun tanpa mampu menanyakan hal lainnya. Itu pengakuan
yang teramat jujur di telinga gue.
“Karena
aku gak bisa berantem, aku ikutin cara kamu.”
“Apa?”
“Gigit
kepala nya?”
“Oh,”
Hah?!
“K-kamu
gila?” Maksud gue, dia beneran gila?
“Iya.
Dia cuma mampu nonjok aku. Tapi aku berhasil gigit kepala sama kalo gak salah
aku gigit tangannya. Nih,” ujarnya lalu menunjuk bibirnya. “ini bukan darah ku,
loh. Tapi tangannya yang aku gigit tadi.”
Sontak
gue mendorong tubuh gue ke belakang agar sedikit menjauh darinya. “Dimana dia
sekarang?”
“Dibawa
Pak Hansip.”
Entah
perasaan apa ini, yang jelas gue sedikit marah. Dan juga, lega.
“Ngapain
coba dikejar? Gak usah sok jantan kenapa, sih? Kamu kan masih punya sepeda. Kita
bisa boncengan saja!”
“Karena
aku gak mau sepeda kamu hilang.”
Apa?
“Aku
mau sepedaku dan sepedamu selalu parkir sama-sama. Kayak kita.”
Hah?
“Lagian
aku gak punya uang untuk beli sepeda baru lagi kalo sampe sepeda kamu hilang.”
APA??!!
Gue
salah! Gue bener-bener salah menilai kata-kata manis dia barusan. Gue terlalu
cepat memprediksi kata-kata manis yang bakal keluar sesudahnya! Tapi, loh?
“Tapi
yang jelas, aku bakal jaga sepedamu, seperti aku menjaga hati kamu.”
Hening.
Entah mengapa tiba-tiba angin lembut menerpa anak rambut yang ketinggalan
kuncir tinggi gue. Dan membuat suasana mendadak tak mampu kujelaskan.
Dan
yang gue ingat sebelum akhirnya kesadaran gue tiba-tiba melayang, gue nangis,
dan memeluk dia. Si cowok idiot, yang selalu mengganggu pikiran gue, selalu
mewarnai hari-hari gue dengan kejutan-kejutan aneh. Dan entah mengapa aku
menyukai cowok idiot ini.
“Udah,
jangan nangis.”
Gue
menarik tubuh gue sendiri setelah sadar dengan apa yang barusan gue lakuin. Lalu
berdiri tanpa membantunya berdiri.
“Ayo
pulang.”
***
“Apa?
Kamu gigit pencuri nya sampe berdarah?”
Gue
mengantar Karno sampai ke rumah nya. Dan sudah bisa ditebak kalau Mama nya akan
histeris. Mengira anak nya sudah gue cuci otak buat berubah menjadi serigala
jadi-jadian, yang gue siapin buat menggempur sebuah pasukan vampir tak dikenal.
“Sekar,
sejak kapan kamu ajari dia gigit-gigit kepala orang?” tanya Mama nya, aneh.
“Belum
lama, kok, Tan. Nanti Sekar ajari juga cara sedot otak. Biar dia jago tanpa
harus latihan bela diri.” Entah gue kualat apa gak, yang pasti gue suka
menggoda ibu dan anak ini.
“Beneran,
Kar?” Karno melompat kegirangan. “kapan mau mulai?”
“Ih!
Udahan, deh! Ngomongin yang waras aja kenapa?” protes Mamanya.
Gue
cuma bergidik mengingat kenyataan bahwa saat ini tiga orang tidak waras sedang
mengadakan pertemuan.
***