Pura-pura Baik VS Pura-pura Jahat
Dua pilihan hidup ini menggelitik hati saya beberapa
waktu yang lalu. Siang malam saya memikirkannya. Karena sudah tidak tahan
dengan rasa penasaran yang tak kunjung mereda, saya akhirnya melakukan survei.
Survei yang pertama saya lakukan secara langsung ke
beberapa teman saya. Mereka sempat bingung bahkan sempat bertanya kembali
bolehkah untuk tidak memilih keduanya. Namun, akhirnya mereka sepakat untuk
memilih “pura-pura jahat”. Survei kedua saya lakukan melalui jajak pendapat di
akun media sosial saya. Hasilnya, 79% followers
saya memilih “pura-pura jahat”. Lantas, apa yang salah dengan sikap “pura-pura
baik”?
Sebagian orang mungkin berpikir pura-pura baik berarti
aslinya jahat. Pura-pura baik maknanya ia tidak tulus melakukan suatu kebaikan.
Intinya, orang ini munafik, sampah masyarakat yang memiliki dua muka, dan dua
sisi hati di mana sisi baik yang selalu ia tampakkan. Tapi, pernahkah kalian berpikir
bahwa dengan memilih pura-pura jahat tidak juga akan membuat hidup lebih baik?
Pura-pura jahat, berarti manusia tersebut akan
menampakkan kejahatannya di depan manusia lain. Ia akan menyimpan sisi baiknya,
lalu berlaku bejat di muka umum. Contohnya, seseorang berkata kasar atau bahkan
menyakiti temannya sendiri, padahal ia menyesal bukan main di dalam hatinya,
hanya karena ia beranggapan lebih baik pura-pura jahat daripada pura-pura baik.
Mari kita menengok sisi pura-pura baik. Maknanya, manusia
akan berbuat baik di hadapan orang banyak meskipun isi hatinya busuk, dan
kelakuannya ketika sendiri bisa jadi bejat. Setidaknya ia menjaga sikapnya
ketika berhubungan dengan manusia. Menekan sifat liarnya agar setidaknya
manusia di sekelilingnya tidak merasa risih akan keberadaannya.
Singkatnya, pura-pura baik bisa dimaksudkan untuk menjaga
kerukunan antar manusia.
Lantas, jika semua orang baik di dunia ini beranggapan
lebih baik pura-pura jahat, siapa yang akan menjadi pelopor berbuat baik?
Seorang teman beberapa waktu yang lalu menanggapi komentar
saya yang lebih memilih pura-pura baik.
“Kan ga enak pura-pura baik tapi aslinya jahat.”
Memangnya kapan manusia bisa sepenuhnya baik? Bukankah justru
itulah keburukan manusia ketika merasa dirinya baik? Lantas jika merasa sudah
baik, lalu berbuat pura-pura jahat, apakah itu bisa dikatakan baik? Mari berkaca.
Jika kita ingin berbuat baik ketika diri sudah benar-benar baik, kapan saat itu
tiba? Adakah jaminan bagi kita untuk tetap hidup sampai hari itu tiba? Jika diri
mampu berbuat baik, kenapa harus pura-pura berbuat jahat? Jika ada kesempatan
untuk berbuat baik sekarang, kenapa harus nanti?
Anggap saja kepura-puraan ini adalah awal dari kebaikan
yang sebenarnya. Anggap saja ini adalah sarana latihan berbuat baik bagi kita
agar di masa depan berbuat baik sudah mendarah daging, lekat di hati, menjadi
kebiasaan dalam kehidupan.
Semoga bermanfaat.