Rindu, Tanpa Definisi

Malam itu, aku datang ke sebuah acara keluarga. Sekadar doa bersama karena salah satu budeku akan pergi umroh, sekaligus selamatan ulang tahun pernikahannya yang ke 44.
Setelah baca Surah Yasin dan doa bersama, semua yang hadir makan malam bersama. Sebagai kejutan, sepupuku menghadiahkan kue, lengkap dengan lilin angka 44. Aku mendapat tugas membawa kue untuk prosesi pemotongan.
Lilin ditiup, kue dipotong, suapan pertama dan kedua dilakukan oleh kedua mempelai itu. Usai suap-suapan, sang istri mengecup pipi suaminya. Air matanya mengalir. Hadirin menunjukkan berbagai ekspresi. Keponakannya kebanyakan terbawa perasaan, mungkin mendadak ingin kawin.
Aku menoleh, kanan dan kiri, mencari sosok ibuku. Tak ada.
Aku menyaksikan kedua mempelai itu berpelukan. Tiba-tiba rasa sedih menohok dada. Mataku memanas meski tak sempat mengalirkan air mata.
"Yak, siap ronde selanjutnya!" pekikku.
Beberapa meneriakiku"gendut tanggung sendiri". Tapi tak ada niat menimpali. Rasa hati tak bisa didefinisi.
Sewaktu dalam perjalanan pulang, aku bertanya pada ibu.
"Bu, tadi pas tiup lilin kemana?"
"Menghindar, sengaja."
Hanya dua kata, tapi dalam maknanya. Pertanda tak ingin mengingat kerinduan yang terlalu dalam, meskipun rindu itu tetap terpatri dalam keseharian.

Popular posts from this blog

[REVIEW FILM] Ai Uta: My Promise to Nakuhito (Dari Sudut Pandang Seorang Tokufans)

"POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA" dalam Opini Saya

[REVIEW ANIME MOVIE] Josee to Tora to Sakana-tachi (2020)