Bicara Indonesia


Indonesia. Sebuah negara kepulauan yang katanya kaya raya. Sumber daya alam yang melimpah, demografi yang berkembang biak dengan pesat, jumlah pulau yang luar biasa, hingga keanekaragaman suku, budaya dan agama yang melahirkan berbagai macam kuliner yang nikmat dan unik, destinasi wisata yang indah, dan nikmat lain yang tidak bisa disebutkan. Saking kayanya, entah berapa lembar kertas yang akan dihabiskan untuk membahas keanekaragaman itu.

Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan dalam sebuah negara penuh keanekaragaman ini, seharusnya sebuah perbedaan kecil tidak menjadi sebuah palu pencipta keretakan. Kondisi Indonesia saat ini seolah menunjukkan perbedaan itu baru terjadi kemarin sore. Masyarakat menjadi gagap menghadapi orang yang menurutnya “nyeleneh”. Padahal, nyeleneh belum tentu salah, yang nampak umum dan wajar di kalangan orang banyak belum tentu sepenuhnya benar. Terlalu banyak rahasia dunia yang tidak bisa dijangkau akal sehat manusia.

Perlu diketahui, ada hal yang beratus-ratus kali lebih butuh perhatian dari semua orang di negeri ini. Oleh siapapun, dari kalangan masyarakat hingga orang-orang ber-jas dan sepatu berdecit di gedung putih, dari yang berteduh di bawah jembatan hingga yang tidur di rumah dinas mewah. Dialah karakter, terkhusus karakter anak bangsa.

Katanya sedang dicanangkan program pengembangan karakter. Sebagai informasi, saat ini guru tidak diperkenankan memberi hukuman, denda maupun sanksi untuk siswanya. Saat ini juga guru tidak diperbolehkan memberi nilai dibawah angka yang menjadi standar yang sudah ditentukan. Saat ini guru bagai sebuah alat kebohongan yang menutupi segala permainan dengan tujuan mengharumkan nama pendidikan.

Mari berpikir sedikit lebih keras akibat dari sistem yang seperti itu. Siswa tidak akan takut melanggar aturan, karena tidak akan ada hukuman yang akan ia terima. Siswa tidak akan khawatir tidak belajar ketika ujian, karena nilainya terjamin bagus.  Guru akan malas berjuang, karena anak yang ia besarkan tidak menghormati sebagaimana mestinya. Guru akan berpikir dirinya hanya sedang bekerja untuk mencari nafkah, tanpa berpikir tanggungjawabnya mencerdaskan anak bangsa. Itukah yang disebut program untuk mengembangkan karakter?

Masalah-masalah luar biasa itu terjadi di tempat tumbuhnya penerus-penerus bangsa. Peraturan-peraturan itu mengekang para pencetak calon pemimpin masa depan. Ditambah lembaga keagamaan di luar sekolah sepi peminat. Orang tua memprioritaskan les MIPA dan bahasa asing ketimbang memberangkatkan anak-anaknya belajar baca tulis Al-Qur’an.

Saat semua itu terjadi, orang-orang di pemerintahan sedang berseteru perihal imajinasi yang mereka pikir bisa membangun negeri ini. Ide yang belum tentu akan mereka kerjakan suatu saat nanti. Membangun sebuah keanekaragaman baru Indonesia: kepentingan politik.

Wahai orang-orang dewasa, yang mengaku sedang berjuang untuk negeri ini, yang katanya punya peranan penting dalam proses tumbuhnya Indonesia, pernahkah kalian berpikir mengenai cibiran orang-orang kecil ketika kalian berdebat tentang sesuatu tapi berujung kampanye? Terkadang aku hanya menganggap omongan kalian tontonan ringan sebelum tidur. Semua terasa seperti kalian sedang berimajinasi, sama seperti kami, hanya berbeda kelas saja.

Semoga Allah segera bukakan mata, hati, dan pikiran kalian. Karena calon penerus kalian sedang melambai-lambai meminta pertolongan di belakang gedung tempat kalian berdebat.

Popular posts from this blog

[REVIEW FILM] Ai Uta: My Promise to Nakuhito (Dari Sudut Pandang Seorang Tokufans)

"POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA" dalam Opini Saya

[REVIEW ANIME MOVIE] Josee to Tora to Sakana-tachi (2020)