Memetik Ilmu Kehidupan: Grave of The Fireflies (Hotaru no Haka)


Setelah sekian lama akhirnya kembali dengan review film (lagi). Tapi kali ini alasannya karena kayaknya film ini sarat dengan makna kehidupan secara realistis, walau terkesan dramatis, tapi nyatanya kehidupan memang demikian.


Ialah Hotaru no Haka, atau judul Inggrisnya Grave of The Fireflies, alias Makam Kunang-Kunang.

Source: imdb.com

Film karya studio ternama—Studio Ghibli—ini, bisa dibilang sukses menguras emosi penontonnya. Sebelum memulai ulasan ini, seperti biasa…

TULISAN INI MENGANDUNG SPOILER. BAGI PEMBACA ANTI-SPOILER, DIHARAPKAN UNTUK TIDAK MELANJUTKAN. TERIMAKASIH.
Walaupun film lama, tapi saya yakin masih ada yang belum menonton dan menikmati film ini.

Dilansir dari Wikipedia.org, berikut profil singkat dari film yang satu ini:
Title                               : Hotaru no Haka (Grave of The Fireflies)
Based on                        : Grave of The Fireflies by Akiyuki Nosaka
Production Companies  : Studio Ghibli
Distributed by                : Toho
Release Date                  : 16 April 1988
Running Time                : 89 Minutes
Country                          : Japan
Language                        : Japan
Film berlatar tahun 1945 ini berkisah tentang seorang pemuda yang harus bertahan hidup di Jepang yang kala itu sedang dilanda peperangan. Serangan udara datang kapan saja dan menghujani pemukiman Jepang dangan bom. Pemuda ini bernama Seita,yang awalnya hidup berkecukupan, ayahnya seorang tentara Angkatan Laut. Ia tinggal bersama ibunya yang memiliki penyakit jantung dan adik kecilnya bernama Setsuko. Tapi semua itu berubah dalam sekejap karena serangan yang menimpa tempat tinggalnya.
Ketika proses evakuasi, Seita dan Setsuko berpisah dengan ibunya dan berjanji untuk bertemu di suatu tempat. Saya pun tidak mengerti kenapa mereka tidak pergi besama saja. Sebagai seorang anak tentara, Seita memang anak yang tanggap dengan keadaan. Ia mengubur persediaan makanan dan barang-barang berharga agar tidak hancur terkena bom ataupun terbakar. Kemudian ia berlari sambil menggendong Setsuko.
Tapi, alih-alih bertemu ibunya di tempat yang dijanjikan, ia malah mendapati ibunya yang menderita luka bakar yang parah. Sekujur tubuhnya dililit perban dan harus segera dirujuk ke rumah sakit. Ia memutuskan untuk tidak memberitahu Setsuko hingga ibunya sembuh. Merekapun ditampung oleh bibinya.
Sayang, ibunya meninggal. Jasadnya dibakar bersama tumpukan jasad korban perang lainnya, kesedihan sudah mulai sangat menohok pada adegan ini. Lalu Seita membawa pulang abu ibunya dengan tanpa diketahui adik dan bibinya. Tapi lama-kelamaan, bibinya akhirnya tahu. Bahkan bibinya mengatakan hal itu pada Setsuko tanpa sepengetahuan Seita.
Setelah cukup lama ditampung oleh bibinya, akhirnya tragedi kehidupan terjadi. Bibinya berubah. Dimulai dari menyuruh Seita kerja ataupun sekolah yang ternyata kedua hal itu tidak bisa dilakukan Seita dengan dalih bangunan kedua tempat itu sudah rata dengan tanah, hingga sifat bibinya yang berubah ketika membagikan makanan kepada Seita dan Setsuko. Hingga Seita memutuskan untuk keluar dari rumah bibinya dan tinggal di sebuah bangunan kecil di pinggiran danau dengan membawa beberapa perlengkapan memasak dan tempat tidur.
Di rumah barunya inilah segala tragedi menyayat hati itu dimulai. Di mana Seita akhirnya memutuskan untuk mencuri ketika Setsuko divonis kurang gizi, hingga ia harus babak belur saat tertangkap basah mencuri, hingga tragedi puncaknya saat Setsuko harus meregang nyawa dengan sepotong semangka di tangannya. Di sana pula terdapat adegan yang membuat kita mengerti kenapa judulnya makam kunang-kunang.
Film suram yang satu ini bisa dibilang terlalu kejam dengan para tokohnya. Tapi, jika menilik realita, boleh jadi film ini dilabeli genre slice of life. Terlalu kejam memang, tapi nyatanya terkadang kehidupan memang demikian. Hanya saja saya sedikit dibuat geram dengan Seita karena tingkahnya yang seperti seorang pemalas ketika bibinya menyinggungnya dan justru memilih mencuri untuk jalan keluarnya.
Kemudian tingkah bibinya. Mungkin bagi sebagian orang yang hidupnya hanya mengenal orang-orang baik akan asing dengan situasi seperti ini. Kamus hidupnya tidak akan ditemukan sindiran-sindiran pedas para kerabat yang direpotkan. Apalagi kasusnya seperti Seita. Padahal menurut saya bibinya ini aslinya orang baik dan bermaksud menyuruh Seita bangkit dari kemalasannya. Eh, si Seita malah kabur. Darah muda kali, ya, jadi egonya masih tinggi. Bahkan saat Setsuko sakit ia masih teguh pada pendiriannya dan sama sekali tidak mau kembali ke rumah bibinya.
Baik, saatnya menilai. Menurut saya, film ini cukup sarat pelajaran seperti etika pada diri sendiri, pada orang terdekat (dalam hal ini ialah Setsuko), dan pada orang lain yang masih peduli pada kita. Selain pelajaran etika, film ini juga bisa mengasah ketajaman tentang rasa saling mengasihi sesama manusia, menyadarkan kita betapa menderitanya anak-anak korban perang yang menjadi yatim, membuka mata kita bahwa kita bukanlah manusia paling menderita di dunia. Sekalipun film ini hanya fiksi, bisa jadi ada Seita-Seita sungguhan di negara-negara yang tengah diperangi seperti Palestina.
Kualitas gambar film ini bisa dibilang sempurna, mengingat tahun kelahirannya, film jadul ini tetap bisa sangat saya nikmati. Tapi, mungkin tidak semua penonton bisa menikmatinya apalagi yang sudah terbiasa dengan visualisasi anime zaman sekarang apalagi karya Makoto Shinkai. Tapi jika penikmat film-film Ghibli sepertinya ini masuk dalam list anime favorit. Bagi saya, film ini masuk ke jajaran film tersedih walaupun tidak sebengkak saat menonton Sayonara no Asa ni Yakusoku no Hana o Kazarou (yang mungkin akan direview di lain kesempatan).

Popular posts from this blog

[REVIEW FILM] Ai Uta: My Promise to Nakuhito (Dari Sudut Pandang Seorang Tokufans)

"POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA" dalam Opini Saya

[REVIEW ANIME MOVIE] Josee to Tora to Sakana-tachi (2020)