Memetik Ilmu Kehidupan: Perjuangan Pasca Kampus
Setiap mahasiswa yang sedang di penghujung semester akhir
mungkin sudah membayangkan bagaimana dirinya tengah mengenakan baju agung serba
hitam melalui prosesi pemindahan pita guna membayar semua peluhnya selama
berlelah-leha (nggak typo kok) di kampus. Ketika itu semua terasa indah
sekaligus mendebarkan. Tapi, semua itu berubah setelah ijazah dan transkrip
nilai sudah ada di tangan.
Mau dibawa kemana gelarmu?
Sebagian orang memprioritaskan untuk terjun ke dunia kerja.
Sebagian lagi memilih untuk lanjut ke jenjang pendidikan berikutnya. Sebagian
lagi ingin kerja, tapi jika takdir belum mengizinkan ia masih memiliki dukungan
keluarga untuk lanjut kuliah. Maka tulisan ini hanya akan mengulik mengenai
sebagian orang yang hanya memiliki dua pilihan: kerja di dunia profesional atau
jadi pegawai magang orang tua di rumah.
Setelah menikmati euphoria
wisuda, istirahat sejenak di rumah ataupun pergi liburan, isi dompet mulai
menipis karena beasiswa putus, kuota data mulai mencekik hingga terpenjara
dalam dunia diri sendiri, mulai muncul pertanyaan dari penduduk rumah: mau
diapakan ijazahmu?
Bukan tak mencari pekerjaan, hanya saja belum kebagian
rezeki tempat kerja. Apalagi bagi orang-orang yang ngotot mau kerja sesuai
dengan hobinya, atau yang mempertahankan idealismenya untuk menghindari
beberapa tempat yang tidak sesuai dengan hatinya, itu semua butuh kesabaran
ekstra untuk mendapatkannya. Perjuangan berebut tempat dengan angkatan kerja
sejagat Indonesia ini pun jika dipikirkan bukanlah perkara yang mudah. Tapi
tenang, sebagai insan yang percaya dengan Yang Maha Mengatur Hidup, itu
bukanlah suatu batu besar yang menghadang jalan.
Lamaran disebar, “jual diri” ke perusahaan ataupun instansi
mulai digencarkan, baik yang sembarang melempar umpan ataupun menyasar
tempat-tempat impian. Kemudian fase tes rekrutmen dijalani, hingga akhirnya
baik yang dengan lancar ataupun butuh perjuangan dan waktu yang tidak sedikit,
yang dinanti akhirnya datang. Tempat kerja (baik yang diimpikan atau tidak)
berhasil didapatkan.
Tiap hari pergi pagi pulang petang. Tak ada lagi tidur
siang. Tak ada lagi liburan berbulan-bulan. Yang ada hanya kerja, gajian, kerja
lagi, gajian lagi. Terus begitu, hingga takdir memutuskan ataupun hatinya yang
memutuskan untuk mendahului takdir, resign,
cari tempat baru lagi. Meskipun momok-cari-kerja-susah menghantui, tetapi para
pencari ketenangan hidup meskipun jadi bawahan orang tetap yakin bahwa rezeki
ada yang mengatur.
Kondisi lain bisa saja terjadi. Jangan dikira orang-orang
yang sulit mendapat kerja saja yang kepalanya selalu pusing. Kenyataannya orang
paling beruntung sekalipun terkadang banyak pikiran juga. Kondisi seperti ini
contohnya ketika seseorang sudah mendapatkan pekerjaan, tandatangan kontrak
untuk masa sekian lama, tiba-tiba datang berbagai tawaran kerja yang lebih
menarik hati dan minat mereka (tapi belum dipastikan dia lulus seleksi
rekrutmennya). Dilema luar biasa. Dan tak jarang hal itu terjadi berkali-kali
selama masih menempuh satu periode kontrak kerjanya. Salah sedikit saja ambil
keputusan, tamatlah riwayat titik pertama karirnya, melanglang buanalah
aktifitas berikutnya.
Jadi jika ada yang mengatakan masa di kampus adalah masa
terindah, ya mungkin saja itu benar. Karena itu adalah titik terakhir seseorang
bisa merasakan nikmatnya bermain bersama kawan-kawan seperjuangan dengan tawa
lepas dan senda gurau sekalipun tugas menumpuk. Dosen killer seolah hanya angin lalu sekalipun terkadang tugasnya
mengancam nilai di penghujung semester. Tapi, mahasiswa tetap menjalani hari-hari
kuliahnya yang menyenangkan. Menikmati tetes terakhir memang selalu terasa
manis, bukan?
-Palembang, 23/03/2020-