Dear, No One
Tulisan ini berangkat dari keresahan setelah menyaksikan orang-orang yang mengaku insecure tiap kali menerima kabar pernikahan teman-temannya.
Walau aku belum pernah menjadi pembawa kabar tersebut, tapi aku selalu mencoba mengatur posisi–memisalkan bahwa saat itu semesta seolah menjadikanku poros dunia. Ketika seseorang yang kita sebut "bestie" datang dengan perasaan tak terdefinisi membawa kabar bahwa ia baru saja menerima pinangan lelaki yang mungkin saja kita kenal maupun tidak. Dengan sumringah setengah canggung ia berucap, "tanggal sekian, aku dilamar, guys!" Lalu ucapan klise yang akan ia dapatkan adalah: "masyaaAllah tabarakallah, semoga lancar sampai hari H, ya." Yang tak jarang dibumbui dengan sisipan: "duh, tiap ada temen yang mau nikah, aku, kok rasa-rasanya campur aduk gini, ya? Hehehe." Jika kalian belum pernah mendengar kalimat ini, berarti circle mu terlalu sehat.
Pernah, nggak, terpikir oleh kita bahwa ucapan tak perlu itu boleh jadi menggores permukaan kulit si kecil di dalam hatinya? Setelah ia lelah menimbang keputusan yang akan merenggut salah satu kebebasan dalam hidupnya, keputusan yang akan membuatnya meninggalkan secuil porsi waktu "party" bersama tongkrongannya, dan membuat dirinya memindahkan surga dari telapak kaki ibunya menuju rumah baru yang berisi orang yang mungkin saja masih asing untuknya. Lalu kita terang-terangan menunjukkan bahwa kita iri dengan kebahagiaannya? Yap, you're the real bestie she ever had!
"Lah? siapa yang iri?"
Iya, memang tidak ada kata iri di sana. Tapi apa salahnya kita hanya berfokus dengan kegembiraan yang saat ini tengah ia bawa? Menyambut kebahagiaannya menjadi kebahagiaan kita juga. Tanpa tapi, tanpa ba-bi-bu, tanpa "hehehe" canggung yang tak perlu, tanpa berlanjut menjadi arena nasib yang diadu.
Jodoh Bukan Satu-satunya Tujuan Hidup
Jika kita mau mengulik hari-hari yang saat ini kita jalani, ada terlalu banyak hal yang sebenarnya belum benar-benar kita pahami, baik itu tentang lingkungan tempat kita hidup maupun yang ada di dalam diri kita sendiri. Kita hanya puas dengan bekal yang kita bawa dari rumah, sekolah, ataupun kampus. Kita hanya terfokus pada mimpi indah yang–barangkali–belum pernah kita rasakan, seperti bersandar pada bahu seseorang yang spesial, mungkin? Dan kita hanya tertekan pada suatu pola tak pasti yang dipatenkan sendiri oleh kepala kita bahwa kita semua pasti akan menemukan jodoh kita (ya, emang, sih. Cuma kan nggak tau di dunia apa di surga kan, ya?)
Wake up! Kita harus menambah list mimpi yang lebih mudah untuk direalisasikan hahaha.
Ini bukan suatu keputusasaan. Bukan juga sebuah pelarian. Jika orang-orang mengira bahwa kita terlalu fokus pada karir, tak memedulikan keinginan orang tua menggendong cucu, atau bahkan lebih parah lagi seperti tidak bernafsu pada lawan jenis, ya sudah. Its our live!
Hidup bukan perkara jodoh saja. Walau mengambil separuh porsi agama yang sempurna pun, ibadah bukan perkara menikah saja. Pintu surga banyak, kok. Bisa dari mana saja, asalkan Allah ridho.
Disclaimer sedikit, ini bukan sebuah orasi untuk mengajak tidak mau menikah berjamaah, ya. Tetap, menikah adalah suatu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja, semoga tiada lagi drama di antara kita setiap kali topik undangan naik ke atas meja bahasan.