Aku, Dia dan Para Stalker Handalku
Waah, kabut asap di Palembang benar-benar tebal. Bagaimana dengan kalian yang disana?
Alhamdulillah bisa ngepost hari ini. Cerita ini true story, lho. Cuma pastinya ada tambahan sebagai pemanis. Semoga dapat menghibur.
Nah, covernya juga sudah dibuat. Tapi, aku bingung yang mana yang lebih bagus (meski ku tahu keduanya sama-sama absurd). So, aku post dua-duanya. And give your comment for my amatir cover.
Aku,
Dia, dan Para Stalker Handalku.
Senin
pertama di bulan September. Angin pagi berhembus semilir. Sinar mentari
perlahan menyiram tubuh Lyra. Ia sampai di depan gerbang bertuliskan SMK N 1
Palembang, tempat ia menuntut ilmu selama satu tahun dua bulan ini.
Hari-hari
selama itu dilewatinya dengan damai. Sangat damai. Saking damainya, rasanya hidupnya hampa, tanpa tantangan, gangguan,
bahkan sebuah perasaan yang bisa dibilang spesial. Yang ia miliki hanya seorang
sahabat, bernama Dalma yang tahu segala seluk beluk mengenai Lyra.
Ia
masuk ke dalam kelasnya, XI Akuntansi 5. Disana sudah ada Dalma yang bertengger
di bangku tepat di samping tempat duduknya.
“Pagi,
Lyra.”
Tak
ada jawaban. Hanya secercah senyum tersungging di bibirnya.
“Kenapa?
Nggak mood?” Dalma mendekati Lyra
yang berhenti di ambang pintu. “Cerita, dong.”
“Aku,”
Lyra mendesah sebelum meneruskan perkataannya. “bosan.” Dalma ternganga
mendengar perkataan itu. Tapi Lyra menangkap ekspresi superkaget Dalma yang
dinilai menyimpang dari maksud nya. “maksudku bukan bosan sekolah.”
“Terus
bosan kenapa?”
“Aku
mau cari orang buat jadi penyemangat belajar.”
Hening
sejenak. Tiba-tiba Dalma tertawa keras sampai membuat Lyra terlonjak kaget.
“Apaan,
sih? Kaget, tahu!”
“Hhh,
kamu lucu. Lyr, kamu itu pinter, gak usah dicari pasti dateng sendiri.”
Ucapan
terakhir Dalma membuat suasana hati Lyra membaik. Bel masuk berbunyi membuat
percakapan mereka benar-benar usai. Tapi, kabar membahagiakan lainnya
tersampaikan ke telinga Lyra. Ia terpilih untuk mengikuti lomba Akademik minggu
depan bersama kakak kelas yang sekarang sedang Prakerin.
Dan
dari sanalah, ia bertemu seorang lelaki bernama Duta. Ia pun jatuh hati pada
pandangan pertama. Tapi, mustahil ia menyukai kakak tingkat yang kecenya selangit itu. Hingga ia memutuskan
untuk mengidolakannya. Dan setelah kejadian itu, ia menjadi stalker seorang kakak kelas bernama
Duta.
***
Perasaan
yang menyenangkan sedang ia rasakan hari itu. Setelah tiga hari membabat habis informasi
dari akun Kak Duta di social media, ia
mengetahui banyak hal tentang lelaki itu. Mulai dari Kak Duta yang suka selca imut bareng temen-temen
sekelasnya, Kak Duta yang suka update status minimal tiga kali dalam sehari,
Kak Duta yang suka baso, sampai Kak Duta yang suka mandi sore jam empat lewat
limabelas menit.
Tapi,
kenyataan pahit juga harus ia terima. Ia gagal masuk babak final lomba akademik
itu. Bahkan tak satupun tim lain yang lolos. Dan itu berhasil membuat Lyra
berubah jadi panda di pagi hari (lantaran lingkaran hitam di mata Lyra melebar
setelah menangis semalaman).
“Sabar,
Lyr. Mungkin emang itu yang terbaik buat kamu.” Dalma berusaha menghibur Lyra
yang hanya diam sejak pagi.
“Jadi,
maksudmu kemampuanku cuma segitu?”
“Eh?
Bukan itu maksudku.” Dalma berusaha menenangkan suasana tegang yang ia ciptakan
sendiri. Kemudian seabrek keinginan untuk lari dari suasana ini mendorong
kegenitan Dalma untuk keluar. “eh, daripada galau disini, enakan kita lihat
kakak kelas yang ganteng-ganteng. Gimana?”
Awalnya
Lyra ingin menolak ide buruk itu, tapi ia sudah ditarik oleh Dalma. Hingga mau
tak mau, ia harus mau. Ogah-ogahan ia duduk di bangku taman depan kelas
memandangi kakak kelas yang wara-wiri sejak tadi. Dan ia berani taruhan bahwa
hanya Kak Duta lah yang bisa membuat hatinya tertarik.
Benar
saja, dari orang pertama, kedua, ketiga, sampai kedelapan tidak ada yang mampu
menggugah semangat Lyra. Sampai pada orang kesembilan, ia benar-benar terpaku.
Kak Duta lewat didepan matanya.
“Em,
kayaknya aku tahu siapa yang bikin kamu tertarik.” Dalma memecah lamunan Lyra.
“mau ku panggilin?”
“Kamu
gila, ya?” Lyra melotot kesal sambil menyikut lengan Dalma.
“Bukan,
maksudku bukan Kak Duta tapi teman-teman sekelasku.” Dalma menenangkan
sahabatnya yang terlanjur naik darah itu. Kemudian ia menelpon salah satu nomor
di kontaknya. Dan tak lama kemudian, muncullah tiga gadis dengan penampilan
genit mendekati mereka.
“Lyr,
kenalin ini teman-teman sekelasku. Yang ini Nora.” Si bongsor melambaikan
tangannya ringan. “ini En.” Gadis berponi pagar mengedikkan bahunya. “dan Le.”
“Leoni.”
Sambar si gadis berkawat gigi yang disebut Le oleh Dalma tadi.
“Lyra.”
Ia tak peduli dan kemudian hanya membalasnya dengan senyum setengah ikhlas.
“Nah,
aku, Nora, En, dan Le akan jadi stalker
buat kamu. Aku jadi ikut kepo melihat Kak Duta yang berhasil buat kamu klepek-klepek begitu. Boleh, kan?”
Hening.
Kini Lyra merasa di hujani pandangan penuh harap. Yang kemudian anggukan pasrah
menjadi wakil dari jawaban ‘iya, silahkan’ yang sebenarnya enggan ia lakukan.
Dan dalam sekejap keempat gadis itu pergi berpencar entah kemana.
“Gak
nyangka si Dalma punya teman kayak begitu.” Gumam Lyra.
***
Hari
baru terbit kembali. Lyra benar-benar kesal dengan rok yang ia kenakan. Karena
seragam hari ini adalah pakaian kantor, ia memakai sebuah rok hitam selutut
yang diameter nya pas-pas-an. Karena rok itu lah ia berjalan begitu lambat.
Dengan
susah payah ia berjalan sambil menggendong ransel yang kembung karena muatannya
penuh. Perjalanan dari halte sampai ke sekolah yang berjarak kurang lebih
limapuluh meter terasa berkilo-kilo meter jauhnya.
Tapi,
Tuhan yang maha Penyayang sepertinya benar-benar menyayangi Lyra. Kak Duta
dengan sepeda motor nya berhenti tepat di samping Lyra yang hampir tersungkur
karena beban beratnya.
“Berat
ya, dik? Ayo ikut kakak.” Sapanya dengan lembut.
Hati
siapa yang mampu melawan keadaan seperti ini? Kalaupun ada itu pasti bukan
Lyra. Ia yang merasa dalam khayalan hanya mampu menganga lebar beberapa detik
lalu segera mengangguk setelah bangkit dari lubang fantasinya sendiri.
Ia
duduk di belakang dengan manis. Tak biasanya ia duduk seanggun itu.
“Gak
mau pegangan?” Kak Duta menepuk pinggangnya dua kali, menawarkannya untuk
menjadi pegangan bagi gadis itu. “nanti jatuh gimana?”
“Em,,
anu,, em..” Lyra gagap. Lidahnya kelu seketika. “aku, em, pegangan sama jok saja, Kak. Makasih.”
“Ok.
Hati-hati lho kalau tidak pegangan. Kakak ngebut nih.”
Dan
Lyra hanya mampu menjawab nya dengan senyuman penuh kebimbangan dan kemudian
memegang besi jok dengan erat. Ternyata, kak Duta mengingatnya sejak lomba itu
meski di event itu sendiri ia tak pernah berani berbincang bersamanya.
***
Kantin
mulai dipadati oleh penduduk negeri sekolah ini. Mereka berduyun-duyun datang
dari kelas yang bagaikan penjara bagi sebagian anak yang tidak sarapan tadi
pagi. Lyra juga ada disana. Tapi, justru disana ia mendadak merasa kenyang
sebelum menyentuh makanannya.
Ia
sedang bersama Dalma, Nora, En dan Le. Yang membawakannya laporan hasil intaian
mereka selama dua hari itu.
“Ternyata…”
Dalma mendesah penuh keputusasaan. “Kak Duta sudah punya pacar.”
“Terus
kenapa? Lagian aku cuma nge-fans sama
dia. Ya, urusan pacar terserah dia, lah.” Lyra menjawab sok acuh. Padahal dalam
hatinya serasa tertusuk-tusuk.
“Kamu
yakin?” En dan Nora bertanya hampir bersamaan. Yang di sambut dengan anggukan
cepat dari Lyra.
“Apa
kamu akan tetap mengidolakannya setelah melihat ini?” Le memberikan ponselnya
pada Lyra.
Dengan
ragu ia mengintip sedikit layarnya. Yang kemudian matanya melebar begitu melihat
sebuah foto mesra Kak Duta dengan pacarnya. Bukan karena cemburu dengan pacar
kak Duta. Tapi karena adegan mesra yang kini ada di depan hidungnya itu dinilai
“gak banget” oleh otaknya. Geli, atau bahkan jijik.
“Masihkah
seorang Kak Duta ada di hati mu?” Dalma menyodok perut Lyra dengan sikunya yang
berhasil membuat Lyra sadar dengan rasa sakit yang tertinggal disana.
“Sakit,
tahu!” Lyra hampir marah karena itu. Tapi tidak bisa. Bagaimanapun keempat
stalker ini telah menyadarkannya sebelum jatuh ke lubang yang lebih dalam.
“makasih.” Lanjutnya demikian.
“Jadi?
Nggak nih?” En membenahi poni nya yang tertiup kipas angin kecil yang
tergantung di dinding kantin.
Hening
sejenak.
“Makasih,
teman-teman. Kalian sudah menyadarkan aku kembali. Sejujurnya aku sedikit tak
percaya sama info kalian. Tapi, percaya tak percaya apa untungnya buat aku
kan?” Lyra menjawab dengan mantap.
Kini
Lyra tak peduli dengan apapun. Mau Kak Duta itu apa, kenapa, atau bagaimana.
Maupun orang-orang disekitarnya gimana-gimana. Yang dipikirkannya hanya lah ia
yang masih harus tetap meneruskan hidup damainya di sini. Mengukir prestasi di
atas kertas yang akan membuat Ayah dan Ibu nya tersenyum bangga saat
melihatnya.
Tapi satu harapan
yang ia punya, “Aku, dia, dan para stalker handalku ini, harus berteman dan
berjuang sampai titik darah penghabisan. Disini, di dunia ini."