CERPEN 'WAKTU'
Assalamu’alaikum~ I’m
comeback. Dan ini adalah cerpen ter-nyesek
yang pernah ku buat. Dan judulnya adalah ‘Waktu’.
Kenapa pakai tanda
petik? Karena waktu adalah suatu hal berharga dalam hidup kita. Dan semoga, cerpen
ini bisa di petik hikmahnya (meski ku tahu cerpen ini maknanya sedikit sekali). Perlu diketahui, ini ada unsur true story-nya loh. Tapi yang pasti dibumbui
dengan hal fiksi supaya manis.
So, inilah cerpen tanpa
cover karya saya. Semoga bermanfaat serta menghibur.
‘Waktu’
Satu-satunya
hal yang paling berharga dalam hidup ini adalah waktu, yang tak pernah berhenti
berdetik. Bahkan disetiap hembusan nafas, disetiap kedipan mata, ia terus saja
bergulir. Dan ketika waktu terus saja berlalu, aku masih saja menunggunya, dia
yang tidak pasti akan kedatangannya.
Jika
saja aku bisa menghentikan waktu, ingin ku ucapkan sebuah kalimat yang membuat
hati ini sesak. Yang tidak akan sanggup ku katakan jika waktu masih saja
berjalan. Aku takut waktu mengalahkanku.
Tapi,
mengapa orang yang ku tunggu tak kunjung datang? Bahkan setelah banyaknya waktu
yang tak sanggup ku hitung lagi. Apa aku masih saja harus menunggu?
***
Aku
menatap kosong langit-langit kamarku. Ku lirik jam dinding, jarum gendut masih
tersungkur di antara angka empat dan lima. Terdengar sayup-sayup adzan subuh
berkumandang. Dengan malas aku bangkit dari kasur.
Handuk
yang tadi tersampir di seutas tali yang kedua sisinya terikat di tempat yang berseberangan
kini pindah diatas kepalaku, kemudian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan
diri. Setelah itu tak lupa aku menunaikan kewajibanku untuk Sholat Subuh. Dan
segera bersiap menuju ke sekolah.
Ku
sisir rambut sebahuku dengan pelan. Tatapan kosongku kini mengarah ke sebuah
cermin yang memantulkan dengan jelas lingkaran hitam di kantong mataku. Aku
mendesah berat. Mencoba melepas sebagian beban yang kurasa sudah cukup untuk meruntuhkan
sebuah gedung.
***
Aku
tiba disekolah. Rok abu-abu lipat tengah panjang menutupi seluruh bagian kaki
ku. Pertanda jelas aku berada di jenjang sekolah menengah atas. Aku duduk di
ujung sisi kursi yang terletak di depan kelas. Fatur, seorang teman sekelas
duduk di ujung sisi lainnya.
“Aisyah,
kamu kenapa? Ada masalah?”
Aku
menggeleng sambil memaksakan untuk tersenyum. Dan kemudian melenyapkannya
seketika itu juga.
Ia
mengidikkan bahunya. Merasa telah mengganggu ketenanganku. Aku bersyukur
memiliki teman yang mengerti keadaanku sebagai makhluk individualis ini.
Sebuah
pesan masuk membuat ponselku bergetar dua kali. Dan sebuah nama muncul disana. Mizan.
Ku tekan tombol open.
[Assalamu’alaikum]
Berat
rasanya jari ini ketika ingin ku tekan tombol Reply di layar bawah. Tapi entah mengapa hatiku memerintahkan untuk
membalas pesan itu.
[Wa’alaikumsalam.
Ada apa?] lalu ku tekan tombol send.
Tak
sampai satu menit, pesan masuk kembali. [Tak apa. Sedang sibuk, kah?]
[Ya,
aku sedang di sekolah. Jika ada perlu, datang saja kerumah besok] dan setelah
itu, aku mematikan ponselku.
Makhluk
itu, sampai kapan ia akan seperti ini? Menjadi pengecut seperti itu.
***
Minggu
pagi. Aku tak ingin memiliki rencana apapun hari ini. Aku ingin bebas di rumah.
Tanpa gangguan sedikitpun. Kini, aku sedang senam ringan di teras depan
rumahku.
Tiba-tiba,
Dori, teman sekelasku yang merupakan keturunan Jepang muncul.
“Ohayou,
Aishi-san.”
Ya.
Aishi, adalah nama yang sering ia pakai ketika memanggilku. Dia bilang, Aishi
adalah plesetannya Oishi versi dia yang artinya enak. Aku tersenyum ringan
padanya.
“Kamu
kenapa disini? Mau ikut jogging?”
“Tidak,
terimakasih. Aku lagi pingin sendiri di rumah.”
“Apa
ini penyebabnya hingga kamu terus menutup diri?”
Hening
sejenak. Kemudian lagi-lagi ku balas dengan senyum ringan seperti biasanya.
“Aku pingin sendiri di rumah. Aku mau istirahat.”
Ia
menghela nafas. “lupakanlah dia. Coba-coba move
on, mungkin kamu akan merasa lebih baik.”
Dan
untuk kesekian kalinya ku balas dengan senyum ringan. Dori tampak kesal dan
akhirnya pamit untuk melanjutkan jogging-nya.
Ku
ambil ponsel di saku celana selutut ku, menghidupkannya setelah lebih dari
duapuluh jam ku matikan. Dan setelah itu, sebuah pesan masuk yang sepertinya
itu pesan kemarin. Dan benar saja, itu pesan yang belum sempat ku baca karena
telah mematikan ponsel kemarin. Dari Mizan.
[Aku
hanya sedikit merindukanmu.]
Mataku
terasa melebar setelah membaca pesan singkat itu. Entah kenapa hatiku menjadi
lebih ringan. Aku merasa aku ingin berteriak histeris. Otakku memutar kembali
memori indahku dulu. Dan buru-buru aku menekan tombol Reply.
[Serius?
Kalau memang begitu, datang saja kerumah.] kemudian send.
‘KLUNG’.
Tanda pesan masuk berbunyi. [Gak, ah. Aku gak mau.]
Senyum
yang baru beberapa menit pun lenyap. Rasa gembira dihati tiba-tiba hancur entah
mengapa. Dan setelah itu, aku hanya membalas pesan-pesan tak pentingnya dengan
perasaan yang perih.
***
Aku
menatap nanar wajah Dori yang nampak gelisah di hadapanku. Ia terus
mondar-mandir tak terarah, sangat jelas ada sesuatu yang mengganggu hatinya.
Sudah hampir lima menit ia seperti itu setelah memanggilku ke sini.
“Aishi,
apa aku boleh mengatakan sesuatu sekarang?” akhirnya ia bertanya.
“Ya,
memang itu yang harus kau lakukan.”
Ia
tersenyum. “Aishi-chan, aku merasa ada seseorang yang aku sukai.”
“Lalu?”
“Apakah
aku akan diterima saat aku bilang cinta padanya?” ia mulai merangkai kata
perlahan. “dan apa kamu akan percaya jika itu kamu?”
Hening.
Aku
tak bisa mencerna apapun semua yang terjadi dihadapanku. Ia menyukaiku? Tapi,
tidak. Aku pasti salah dengar. Atau aku sedang berhalusinasi? Ya Allah, selamatkan aku dari situasi ini,
batinku.
“Aishi-chan?”
“Maaf,
Ri. Aku gak bisa.”
Ia
sepertinya sudah tahu akan ada penolakan. Wajahnya tampak tetap tenang. “apa
dia masih menutupi hatimu?”
“Ya,”
aku menghela nafas sebelum melanjutkan. “sekuat apapun aku berusaha
melupakannya, ia selalu datang dipikiranku. Ia selalu mengusikku hingga hati
ini tak pernah bisa move on darinya.
Meski ia selalu jahat kepadaku, menyakiti hatiku, tapi itu mungkin hanya
perasaan ku. Aku yakin ia tak pernah bermaksud demikian.”
Ia
termangu. Kekecewaan memenuhi wajahnya. “maafkan aku, Dori. Aku ingin kau tetap
menjadi sahabatku.”
“Kenapa?
Jika memang aku yang menyukaimu saja tak bisa masuk ke sana, mengapa ia yang
selama ini menyakitimu bisa tetap bertahan disana? Di hatimu?” ia mulai
frustasi.
“kamu
tak adil, Aisyah.”
***
Apa
aku bodoh? Ada orang lain yang menyukaiku, tapi kenapa aku masih menunggunya? Apa,
apa aku menyakiti orang lain? Dori, ia yang selama beberapa tahun ini selalu
berusaha menghiburku telah menyatakan suka padaku. Tapi, kenapa hati dan
fikiran ini tak mampu untuk menyukainya pula?
Mizan,
orang yang dulu pernah menjalin hubungan denganku, yang sampai sekarang bahkan
belum ada kata selesai, kini selalu menyakitiku. Tapi, kenapa hati ini tak
pernah berhenti menyukainya?
Tidak.
Setidaknya, tak akan ada satupun yang memiliki ku, dan tak akan ada pula yang
tersakiti. Aku, akan mengatakan padanya. Bahwa aku akan berhenti.
***
Kulirik
arlojiku. Setengah empat sore. Aku menanti Mizan setelah memaksanya menemuiku
di taman umum. Dan tak lama, ia datang. Tanpa basa-basi ia langsung duduk di
ujung kursi panjang. Aku masih saja menatap kosong suasana di hadapanku.
“Ada
apa?”
Aku
menghela nafas berat. Ku tatap siluet bayangannya yang terpantul sinar matahari
sore. “terimakasih sudah datang,” ia bergidik, isyarat bahwa tak masalah ia
kesana. “ada sesuatu yang perlu kusampaikan padamu. Apa aku harus berhenti?” ia
menoleh ke arahku.
“aku
lelah. Aku berniat menutup diri. Aku ingin mulai berjilbab secepatnya. Dan aku
akan menutup hati seiring tertutupnya diri ini. Aku anggap selama ini kau sudah
menyakitiku.” Aku berdiri dan berbalik.
“dan
jika saja aku bisa menghentikan waktu, sedetik saja, aku ingin mengatakan sesuatu
yang tak akan sanggup tersampaikan jika waktu masih saja berjalan,” ia terpaku
menanti lanjutan kata-kataku. Aku menutup diri, dan juga hati karena aku ingin
menjadi seorang muslimah yang berguna. Dan-“
aku berhenti sejenak. aku akan tetap
mencintaimu, meski ku tahu ini akan sia-sia, batinku.
“Apa
selanjutnya?”
Aku
kembali berbalik menatapnya. “sekian sampai disini.” Dan kini, aku berjalan
meninggalkannya. Sekali lagi mencoba terus menegarkan hati atas keputusan
tiba-tiba ini. Dan sekali lagi, waktu mengalahkan cintaku. Tapi, waktu juga
membantuku membangun iman yang jelas lebih penting.
Biar
cintaku menjadi cinta yang suci di balik jilbab ini. Aku yakin, Allah selalu menyayangi
umat-Nya. Aku yakin.