Never Give Up!

Assalamu'alaikum~~~
Aping is comeback with a new story.
Berawal dari tugas yang tertunda, akhirnya jadi sebuah cerita. Cerpen ini aslinya adalah naskah drama, tugas pelajaran seni budaya. Tapi, saya niat mau buat versi full nya gitu. Dan ini lah jadinya.
Ini baru part 1. Karena gak nyangka cerita nya panjang begini, jadi saya post part 1 nya dulu aja, ya. Untuk part 2, diterbitin InsyaAllah selesai ujian (itupun kalau responnya bagus).
So, kasih respon ya, guys. Thank you~~
Semoga terhibur. Wassalamu'alaikum.

Never Give Up!
Cita-cita. Apakah itu cita-cita? Apakah kalian berani mempertaruhkan apapun demi tercapainya cita-cita kalian? Kami, yang berawal tidak saling mengenal, berjalan sendirian. Menempuh pahitnya kehidupan yang ternyata lebih pahit daripada air rebusan daun singkong.
Tapi, saat bertemu mereka, berjuang bersama, kurasa sebuah keinginan akan tercapai dengan cepat bahkan lebih cepat daripada laju sebuah capung yang terbang di bawah pohon pisang.
Dan tentu semua tak akan berjalan mulus. Layaknya dalam perjalanan menuju kampung halaman sebelum hari Raya yang melewati jalur pantura saat masa perbaikan. Pasti ada yang namanya rintangan, yang menghiasi perjalanan tersebut.
***
Malam minggu. Sebuah momen terindah bagi remaja tanggung. Di sana, di sebuah pasar malam yang rata-rata dipadati oleh pengunjung muda. Berbagai aktivitas ada disana. Mulai dari seorang lelaki paruh baya yang sedang menggulung kembang gula dagangannya. Hingga tiga orang siswa School of Art yang menggelar sebuah pertunjukkan kecil, pemer kebolehan yang mereka miliki.
Malam itu, mereka benar-benar menunjukkan kebolehan terhebat yang mereka miliki, modern dance. Tepuk tangan pengunjung riuh setelah mereka membungkuk, menutup pertunjukkannya. Bahkan ada beberapa dari mereka yang melemparkan beberapa lembar uang ribuan tanda rasa terimakasih atas hiburan nya.
“Whoa! Keren banget, Dhan!” ia berseru heboh sambil mencolek bahu salah satu temannya. Dan membuat dia yang dicolek terlonjak geli.
“Biasa aja kali, Za! Geli tahu, gak!”
Dan temannya yang lain, satu-satunya perempuan, sibuk membaca sebuah kertas yang tertempel di dinding tak jauh dari tempat mereka berdiri. “Guys, lihat. Kita harus ikut!”
Adhan dan Eza pun melihatnya juga. “Apaan, sih, Ria?” setelah membaca apa yang ditunjuk Ria, mata mereka membulat. “Whooaa!”
“Bener, kan? Kita mesti ikut!”
Dan mereka pun meninggalkan kertas tersebut setelah membaca. Tapi, sepertinya mereka tidak membaca brosur itu dengan detail.
Tepat setelah itu, gadis dengan seragam School of Art melewati tempat itu. Dengan earphone-nya ia berjalan cuek. Dan berhenti sejenak untuk melihat kertas yang sama. Setelah clingak-clinguk kanan kiri depan belakang, di sobeknya kertas itu dari tempatnya tertempel dan diselipkannya di saku almamaternya.
Dan ia berjalan pulang masih dengan ekspresi yang dingin.
***
Keesokan harinya, Ria dan Eza sedang makan siang menikmati jam istirahatnya. Tak lama kemudian, datanglah Adhan dengan muka terlipat, kusut.
“Lo kenapa, Dhan?” Ria merasa prihatin dengan sahabatnya yang satu ini.
Adhan menggeleng beberapa kali. “Kita gak bisa ikut. Kita gak punya uang sebanyak itu.”
oh my God! Sejak kapan uang jadi masalah, Dhan?” Eza bangkit dari tempat duduknya.
“Lo pikir ni duit dikit? Liat noh!” ia menyodorkan ponselnya kepada dua temannya. “limaratus ribu. Belum termasuk biaya akomodasi.”
Eza kembali ke bangkunya. Ria mulai berpikir.
“Gue punya ide.” Ria mulai mendeskripsikan idenya. “Gimana kalo kita rekrut anggota baru? Yang kaya gitu. Monik misalnya?”
Eza tampak ragu. “Bah, si songong itu mau lo ajak? Mana mungkin dia mau.”
“Tapi kayaknya ide itu bagus juga. Kan gak ada salahnya kalo kita coba.”
Dan secara kebetulan, Monika lewat di belakang mereka. Ria yang melihat cewek itu langsung memberi isyarat. Dan kedua cowok itu langsung menghambur ke Monika.
“Pagi, Monik”
“Pagi, Monika. Apa kabar?”
“Lo cantik, deh. Gue traktir yok.”
Please, deh. Apa kemarin-kemarin gue gak cantik? Udah, deh. Gak usah banyak basa-basi. Gue tahu kalian pasti ada maunya, kan? Gue sibuk tahu gak?” dengan angkuhnya ia berbicara begitu.
“Kita emang lagi butuh elo.” Ria ikut mendekat. “kita bisa bicara, kan?”
Monika duduk di tempat mereka makan tadi. Dan dimulailah perbincangan dalam merajut simbiosis mutualisme.
“Kita mau ikut kompetisi dance, tapi dana kami gak cukup.” Adhan membuka pembicaraan. “dan kami butuh elo sebagai donatur. Gue yakin kita akan menang, Nik.”
Monika tampak menimbang-nimbang. Adhan dan Ria tegang menanti jawabannya. Tapi, Eza malah clingak-clinguk menyebarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantin. Dan pandangannya terpaku ke seorang gadis di sudut ruangan. Si gadis ber-earphone itu membuatnya terpesona.
“Tuh cewek boleh juga jadi gebetan. Cantik, noh!”
Ria menepak kepalanya. “Fokus!”
My God! Peduli amat, sih gue ama kalian? Lagian gue juga kurang suka sama dance. Kalopun gue mau jadi artis, gue langsung aja bilang ke bokap. Dan dia bakal masukin gue ke agensi relasi bokap.” Monik menjelaskan penolakannya.
Adhan tampak kecewa. Tapi, Eza tak menyerah. “Eh, Mon. lu itu punya kemampuan yang keren. Suer, deh. Sayang banget kalo lo masuk ke dunia entertain dengan jalan begitu. Lo mau dijulukin sebagai artis instan?”
Dan kembali Monik menimbang-nimbang.
“Ok, tapi kalian harus buatin PR gue selama seminggu.” Jawabnya pada akhirnya.
Ok. No problem
Dan akhirnya, mereka mendapat donatur tetap. Mereka mulai berlatih menggingat kompetisi yang hanya tinggal dua minggu lagi.
***
Si gadis ber-earphone sampai di depan pintu rumahnya yang tertutup rapat. Dilirik nya arloji kecil di pergelangan tangannya. Sudah pukul lima lewat limabelas menit. Tiba-tiba terdengar seperti benda yang jatuh dan pecah dari balik pintu itu. Tapi, ia tetap bersikap dingin. Sepertinya ini adalah hal biasa baginya.
Dibuka nya pintu itu. Terlihat seorang perempuan berumur tigapuluh-an yang sedang membereskan beling yang berserakan. “Lia?”
“Mama.” Jawabnya datar.
“Kenapa baru pulang?” perkataan itu datar tapi terdengar sangat tidak bersahabat.
“Ada kelas tambahan.”
Tiba-tiba seorang lelaki yang umurnya tak jauh berbeda dari mamanya muncul dan membentak. “Apa? Kelas dance? Aku tak mau tahu, mulai besok kamu gak ada lagi pulang jam segini!”
Ia hanya menganggap itu sebagai angin lalu. Ia melanjutkan perjalanannya menuju pintu kamarnya.
“Rona, inilah akibat kamu yang gak bisa didik anak kamu!” lelaki itu beralih ke Mama nya Lia. “baru setahun aku hidup serumah sama dia, kepalaku sudah terasa mau pecah!”
Mama nya terkejut mendengar kata-kata itu.
“Gue bukan anak Anda.” Lia menjawab dengan dingin. “Anda hanya Ayah tiri gue. Anda gak berhak ngelarang apa yang gue suka.”
Ia pernah memasuki ekskul dance sewaktu SMP. Dan ia masuk ke kelas dance di semester pertama nya di School of Art. Tapi, setelah Ayah nya meninggal, ia dilarang menari oleh Ayah tiri nya.
Tangan lelaki itu terkepal. Rahangnya menegang. Dan suasana seperti itu sepertinya sudah hal biasa dialami oleh Lia.
***
Seminggu berlalu. Hari itu Ria, Eza dan Monik tengah berlatih sembari menanti Adhan yang sedang pergi mendaftar ke pihak pelaksana kompetisi. Tak lama, ia datang sambil kesal.
“Batal! Kita gak usah ikut!”
“Apaan, nih?” Monik naik darah.
“Mereka cuma nerima tim yang anggota nya lima orang atau lebih. Kita gak bakal ada waktu buat rekrut anggota baru.”
“Terus, duit nya kemana?” Monik tambah sensitif.
“Ya udah dikasih lah. Buat dapetin kertas persyaratan lanjut ini harus ngurus administrasi nya dulu.” Adhan pun tambah kesal.
“Sampe sini aja perjuangan lo? Yang bener aja, Dhan?” Eza ikutan kesal.
“Pokoknya, gue selaku donatur tetap, gak setuju kalo kita batal! Gue udah susah ngerayu bokap buat keluarin duit, dan kalo kita gak jadi, kalian kudu tanggungjawab.”
“Ya, Dhan.” Ria ikut menimpali. “gue rasa kita coba aja lagi. Gak ada salahnya, kan?”
Adhan buang muka. Hanya itu yang dapat ia lakukan untuk saat ini. Ia benar-benar bingung harus bagaimana.
“Inget lo! Jangan sampe kecewain bokap gue!” Monik masih saja sensitif.
“Biasa aja kali. Gak usah pake urat!” dan Eza lebih sensitif lagi.
Ria pusing. Ia memilih pergi sejenak untuk mencari udara segar. Siapa tahu dapat inspirasi, batinnya.
***
Beberapa saat sebelumnya, Lia tengah berada di ruang latihan yang biasa dipakai anak-anak dancer berlatih. Karena ia berada di kelas musik, ia tak pernah berlatih di sana saat jam pelajaran. Dan demi tercapai nya kepuasan diri dalam melakukan hal yang ia sukai, ia rela diam-diam berlatih disana disaat jam pulang sekolah.
Hari itu, ia merasa lelah dengan keadaan rumah nya. Ia sempat berniat untuk tidak pulang ke rumah. Ia berjalan terhuyung menggeret ransel nya di lantai cokelat muda itu. Kemudian mengeluarkan MP3 Player dari dalam ransel nya.
Musik mulai bermain. Dan ia mulai menari seirama dengan musik nya. Semua beban nya terasa terangkat perlahan.
Ria yang pusing lewat di depan ruangan itu. Dan oops! Ia melihat kelihaian Lia dalam menari. Ia pun menonton pertunjukkan solo itu di ambang pintu yang memang terbuka.
Musik berhenti. Tarian berakhir dengan Lia yang duduk manis di bangku latihan. Kemudian yang terdengar adalah tepuk tangan dan sorakan kekaguman dari Ria.
“Whoa! Gila. Keren banget lo, Li! Lo diem-diem boleh juga.” Tak henti-hentinya ia bertepuk tangan.
Lia kebat-kebit karena aktivitas nya diketahui orang lain. Ia mendadak sensi. “Lo? Ngapain lo disini? Ketuk pintu dulu gak bisa, ya?”
“Ketuk pintu? Lo aja gak tutup tu pintu.” Mata nya membulat mengetahui kecerobohannya. “lo Lia anak kelas musik, kan?”
“Ya. Kenapa? Oh, ya ya. Gue tahu, ini tempat kalian. Gue akan pergi sekarang.”
“Tunggu! Bukan itu maksud gue.”
“Terus?” Lia tetap tak acuh.
“Kita lagi butuh orang. Lo mau, kan ikutan gabung?” Ria mulai merangkai kata-perkata nya.
“Apa?”
Ria mengaitkan lengannya di lengan Lia. “Ntar gue jelasin.” Langsung saja ia tarik gadis itu.
“Eh, eh? Tas gue, woy!”
***
Kembali ke tempat dimana Adhan, Eza dan Monik perang lidah. Bahkan mereka sudah menggulingkan sebuah bangku.
Dan Ria datang tepat waktu sebelum Eza berhasil menggulingkan meja guru. “Oi! Kalian apa-apan, sih? Nih, gue ketemu malaikat kita.” Ia menyodorkan Lia kepada mereka. “namanya Lia. Anak kelas musik. Dulu waktu semester satu gue sekelas sama dia. Tapi kayak nya dia gak inget karena memang jarang gaul sama gue.”
“Lo yang gak pernah gaul sama gue.” Lia menimpali.
“Terus?” Monik tampak masih kesal.
“Gue liat dia nge-dance tadi. Dan itu keren banget. Kita bisa rekrut dia, kan?”
“Eh, Ri. Rekrut apaan? Emang kalian mau ikut apa?” Lia tidak mengerti.
Adhan menyela. “Kita mau ikut kompetisi. Dan kami kurang orang. Lo mau, kan gabung sama kami?”
Semua mata memandang ke Adhan. Tak menyangka ia langsung percaya pada Ria. Lia tampak menimbang-nimbang sebentar. Dan tak lama ia mengangguk pertanda “Ya, gue mau.”
***



BERSAMBUNG…

Popular posts from this blog

[REVIEW FILM] Ai Uta: My Promise to Nakuhito (Dari Sudut Pandang Seorang Tokufans)

"POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA" dalam Opini Saya

[REVIEW ANIME MOVIE] Josee to Tora to Sakana-tachi (2020)