NEVER GIVE UP! (PART 2)

Assalamu'alaikum. wr. wb.
Alhamdulillah, ujian saya selesai hari ini. How about you?
Bagi yang selesai, selamat deg-deg ria menunggu hasil nya. Bagi yang belum seperti seseorang disana (*ngek), semangat....
Ini lanjutan Never Give Up! Atas permintaan beberapa teman yang mengaku penasaran dengan kelanjutan nya, akhirnya saya post lanjutan dengan hati yang ber 'bunga-bunga' ~~~ *makasih ya...
And than, cerita ini benar-benar jadi cerbung. Maafkan aku T^T
Terimakasih semua pembaca... Semoga dari apa yang dibaca dapat menjadi berkah. Amin.
Wassalamu'alaikum. wr. wb.



Never Give Up! (Part 2)
Sabtu malam. Ria terkapar di kasur nya. Setelah satu minggu latihan full ia merasa kehabisan tenaga. Karena mereka kedatangan anggota baru, mereka harus mengajarkan koreografi nya dari awal. Belum lagi Monika yang terus saja mengeluh capek setiap menit ke enampuluh berlatih.
“Ria, makan dulu.” Suara Mama nya terdengar dari dapur.
“Iya.”
Ia bangkit dari kasur nya dengan enggan. Menuruni tangga rumah nya lalu melewati ruang tengah, akhir nya ia menemukan Mama dengan perut nya yang buncit (karena tengah mengandung) sedang menyiapkan makanan di meja dan Papa nya yang menunggu di kursi meja makan.
“Kamu kenapa? Kok, kayak nya capek banget?” Papa nya khawatir.
“Besok Ria mau ikut kompetisi, Pa. Jadi akhir-akhir ini latihan keras.”
“Iya, Pa.” Mama menyela. “yang Mama bilang waktu itu, tuh.”
“Oh… semoga menang, ya. Nanti Papa usahain dateng buat nonton kamu.”
“Makasih, Pa.”
***
Angin berhembus perlahan. Dahan-dahan pohon melambaikan daun nya ke kanan dan ke kiri. Hari ini, adalah hari kompetisi di laksanakan.
Adhan sedang mencium punggung tangan Mama dan Papa nya. Ia ingin datang pagi. Karena ia sempat berjanji dengan keempat teman nya untuk menjadi yang pertama sampai di sana demi menunjukkan rasa semangat nya. Ia melajukan sepeda motor nya dengan penuh suka cita.
Beralih ke Monika. Karena lelah, ia bangun kesiangan. Ia buru-buru mandi. Tak lupa merias wajah nya dengan make-up tipis, membuat nya terlihat manis. Dan parah nya ia harus sarapan di dalam mobil diantar sang Papa.
What about Eza? Sebagai pecinta bola ia tak ketinggalan menonton pertandingan tim kesayangannya semalam. Hingga ia bernasib sama dengan Monika. Hanya saja ia benar-benar tak sempat sarapan karena ia pergi sendiri mengendarai sepeda motor nya. Mama nya membawakan bekal untuk ia makan disana. Dan karena buru-buru, tak sengaja ia meninggalkan SIM dan STNK nya.
Ria? Ia telah duduk manis di atas motor Papa nya, meski Papa nya masih sibuk mencari kunci motor di kamar. Beberapa menit kemudian ia keluar bersama Mama. Mama nya melambai sambil mengelus-elus perut buncit nya.
Next, Lia. Berbeda dengan yang lainnya. Ia kini tengah gelisah di kamar nya. Ia benar-benar tak bisa keluar karena Mama dan Papa tiri nya libur bekerja. Apalagi jika tahu harus pergi ke kompetisi dance.
“Sial. Acara mulai jam sepuluh.” Ia gelisah sambil melihat jam dinding nya yang telah menunjukkan pukul sembilan lewat seperempat.
Tiba-tiba ia tersenyum nakal. Dibuka nya lemari paling atas, dan mengeluarkan baberapa sprei, gordin, dan kain-kain besar lainnya. Diikat nya helai demi helai kain-kain besar itu jadi sebuah tali, yang akan ia jadikan sebagai rambut Rapunsel (alat kuno untuk melarikan diri dari jendela di lantai atas).
Diikat nya ujung tali itu di kaki lemari yang tersandar di dinding samping jendela. Ujung lainnya di buang ke bawah. Ia mulai menuruni tali kain itu.
Sial, satu meter sebelum kaki nya menyentuh tanah, ikatan di kaki lemari terlepas. Dan, BUG! Ia jatuh. Diraba nya seluruh bagian tubuh nya, tak ada yang berdarah. Saat ia menopang tubuh nya dengan tangan kanan nya, tiba-tiba lengan atas nya sakit. Hingga ia memaksakan berdiri dengan tangan kiri menopang tubuh nya.
Di tempat kompetisi, Adhan, Ria dan Monika cemas karena waktu sudah hampir pukul sepuluh tapi mereka belum lengkap. Adhan berusaha menghubungi Eza.
“Halo? Za? Lo dimana?” katanya begitu terdengar suara di seberang.
“Aduh, Dhan. Maaf gue telat. Gue kena razia. Gimana, nih?”
“Hah? Razia?” mendengar itu Ria dan Monika ikut panik. “terus lo bawa SIM? STNK?”
“Itu tuh masalah nya. Kayak nya ketinggalan di meja. Duh, mana antiannya panjang lagi.”
“Aduh, terus gimana, Za? Aduh!”
“Kita dapat nomor berapa?”
“Tiga! Lo tau?!”
“Lo tenang dulu, dong. Ini gue usahain dateng sebelum kita dipanggil. Tapi, kalo emang gak bisa, improvisasi dulu aja. Lo gantiin posisi gue. Lo pasti bisa.” TUUT… TUUT… TUUT…
“Sial!”
“Terus gimana, dong?” Monik cemas. “gak mungkin batal.”
“Lia mana?” Adhan kembali naik darah.
“Gue telpon tadi gak diangkat. Gue coba lagi aja, ya.” Ria mengeluarkan ponsel nya dan mulai mencari nomor Lia di kontak nya.
Di tempat lain, Lia berlari begitu turun dari angkutan umum menuju lokasi kompetisi yang berjarak sekitar seratus meter dari tempat pemberhentian. Tiba-tiba ponsel nya bergetar. Ketika ia akan mengambil nya di saku kanan celana jeans nya dengan tangan kanan, ia meringis kesakitan. Ia berusaha mengambil dengan tangan kiri nya sambil terus berlari.
“Ya?”
“Lo dimana, Li?” suara Ria diseberang ia dengar.
“Bentar lagi sampe. Gue udah bisa ngeliat gedung nya, kok.” Setelah mengucapkan itu, ia dapat melihat ketiga temannya itu. “gue liat kalian.”
“Mana?” dan setelah itu mereka saling bertemu.
Lia menahan napas nya yang tersengal, berusaha menenangkan diri. Ria dan Monik mengelap keringat yang mengucur di dahi Lia.
“Cepet. Kita harus masuk sekarang.”
Dan mereka masuk ke stadium tempat kompetisi dilaksanakan. Ketika sampai di dalam, tiba-tiba ponsel Adhan bergetar tanda pesan masuk.
[Dari Eza. Dhan, sorry banget. Gue ditilang. Kalian harus bener-bener improvisasi total. Gue rasa Lia punya kemampuan break dance. Jadi lo ambil posisi gue dan Lia bantuin lo meriahin suasana. Sukses, FiveCraz!]
Hening sejenak.
“Lo bisa, Li?” Adhan bertanya ragu.
Lia tampak sangat ragu. Ia memegangi lengan kanan nya, merasa tak yakin kalau-kalau ia gagal.
“Lengan lo kenapa? Sakit?” Ria mencoba menyentuh, tapi Lia menepis nya.
“Gak. Gue baik-baik aja.” Ia memantapkan hati nya. “ayo kita coba. Gue pernah belajar waktu SMP sama dancer jalanan.”
[KITA PANGGILKAN PESERTA NOMOR URUT TIGA DARI SMA SCHOOL OF ART, FIVECRAZ!] suara MC membahana memanggil nama mereka. Seorang crew datang menghampiri.
“Kalian siap? Loh? Kenapa empat? Kalian berlima, kan?”
“Iya. Satu anggota berhalangan hadir. Kami masih bisa ikut kompetisi, kan?” Adhan bertanya sambil memohon dalam hati.
“Karena sudah terpanggil, kalian harus naik. Ini kompetisi terbuka, kalau batal setelah dipanggil, penonton akan kecewa.”
“Baik. Terimakasih, Kak.”
***
Lighting yang indah. Panggung itu jadi terlihat megah. Keempat anak itu telah berdiri di atas panggung. Juri mulai bisik-bisik menanyakan kenapa hanya empat?. Dan mereka berempat terlalu bodoh jika tidak mengetahui nya.
Musik mulai bermain. Mereka mulai menunjukkan koreografi yang dibawakan dengan apik, lincah dan juga kompak. Meski Eza tak ada disana, tapi mereka membawa semangat nya.
Sampai pada musik peralihan dimana koreo asli nya adalah Eza melakukan break dance enerjiknya, kini diganti oleh Adhan diramaikan oleh Lia. Tapi sayang, Lia tak berhasil dan malah jatuh terduduk.
Musik peralihan selesai, kembali terdengar musik awal. Ria dan Monik mengambil alih. Mereka maju kedepan. Tak mau tampak salah, Adhan membuat skenario baru dengan mengulurkan tangan nya pada Lia dengan senyum nakal. Lia langsung membalas dengan senyum nakal pula. Disambut nya tangan Adhan, dan Adhan menarik nya berdiri.
KREK! Suara lengan nya, Lia dapat merasakan itu. Dan Adhan mendengar nya juga. Mereka sempat berpandangan cemas. Tapi, pertunjukkan belum selesai. Mereka harus melanjutkan ini. Tak ada waktu untuk menghiraukan apapun saat ini kecuali keberhasilan pertunjukkan. Aku pasti kuat, batin Lia.
***
Pertunjukkan selesai. Mereka turun menuju backstage. Ria dan Monik senang minta ampun mengingat improvisasi yang mereka lakukan tadi sangat sempurna. Tapi, Adhan dan Lia hanya diam.
“Kalian kenapa, sih? Tadi itu keren banget, loh!” Monik masih histeris.
Adhan tak menghiraukannya. Ia terus menatap Lia. “Apa itu?”
“Lo apaan, sih?” Monik bingung.
“Iya, Dhan. Ngomong yang jelas, dong.” Ria menimpali.
Tapi Adhan masih saja menatap tajam ke Lia. “Lia, jawab gue! Lengan lo sakit, kan? Jawab, Li!” Ria dan Monik ikut menatap Lia yang kini menunduk sedih.
“Maaf. Tadi pagi- gue- gue jatuh.” Jawab Lia pada akhir nya.
Ria membuka lengan Lia perlahan. Memar dan sedikit bengkak. “Harusnya lo ngomong tadi. Pasti gak bakal bengkak gini.”
“Gue ambil kotak obat di mobil, ya. Kalo gak salah bokap selalu bawa kotak obat yang isinya lengkap kalo kemana-mana.” Monika berlari menuju tempat parkir.
Hening.
“Kenapa lo bisa jatuh? Dan kenapa tadi lo telat?” Adhan bersuara pada akhirnya.
“Gue turun lewat jendela kamar gue di lantai dua.”
“Lo gila?” Ria spontan menjerit. “lo kabur? Kenapa, Li?”
“Gue- sebenernya gue gak dapet izin untuk nge-dance. Tapi, gue punya cita-cita jadi dancer. Dan gue gak mau karena gak dapet izin, keinginan gue kandas.”
“Kenapa lo bisa gak dizinin?” tiba-tiba Monik muncul dibelakang Adhan.
“Bokap-“ ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “bokap tiri gue ngelarang dengan alasan trauma nya dia. Istri lamanya seorang ballerina, ia meninggal karena kecelakaan di panggung. Dan ia menganggap bahwa istri nya meninggal karena dance itu terkutuk.” Lia menjelaskan panjang lebar.
Eza datang dengan napas tersengal. “Guys, gue berhasil ngibulin tu polantas.” Ia tersenyum nakal. Tapi tawa nya terhenti melihat keempat temannya hanya menunduk sedih. Dan ia terkejut bukan main begitu melihat lengan memar Lia. “oh my God! Li, lengan lo kenapa? Jangan-jangan lo yang gantiin gue jungkir balik di panggung tadi, ya? Ya ampun, Li. Lo itu cewek!”
“Lo bisa diem gak, sih, Za?!” Adhan mulai pusing.
Eza terlonjak mendengar Adhan membentak nya. “Kalian kenapa, sih?”
“Udah, tenang.” Ria menengahi. “Nik, lo jelasin ke Eza semua kronologi kita tadi. Biar gue yang kompres lengan Lia.” Monika mengangguk lalu menarik Eza ke ruangan sebelah.
Seorang crew mendekati mereka. “FiveCraz?” ketiga nya mengangguk. “maaf, kalian tahu, kan bahwa ketentuan personel minimal lima orang?” lagi-lagi mereka mengangguk. “karena kalian tadi hanya berempat, kalian didiskualifikasi.”
Tak ada lagi anggukan.
“Maafkan kami. Padahal penampilan kalian tadi sudah sangat total. Penampilan yang perfect, tapi peraturan itu adalah sebuah kesepakatan.” Kini hanya Adhan yang mengangguk, mencoba tersenyum kepada crew itu. “semangat terus, ya.” Ia pergi.
Hening.
“Sekarang gimana?” Lia kembali merasa bersalah.
“Yah… mau diapain lagi?” Adhan menghangatkan suasana. “inilah kemampuan kita. Kita bisa mengejarnya di lain waktu. Yang terpenting sekarang- lo gimana?”
Ria ikut menatap cemas pada Lia. “Bisakah aku tidak pulang?” Lia berkata lirih.
“Siapa yang bakal nampung lo?” Ria merangkul Lia. “pulang aja. Gue rasa itu lebih baik daripada kabur. Kami anter deh kalo lo takut.”
Hening sejenak.
“Gak usah. Gue pulang sendiri aja. Gue bisa ngatasin ini.”
***
Pukul lima sore. Lia ada di depan pintu rumah nya. Tangan kiri nya memegang gagang pintu yang tak kunjung dibukanya. Setelah menarik nafas dalam, ia mencoba memberanikan diri untuk membuka pintu itu.
Ia bisa melihat Mama dan Papa tirinya sedang duduk di ruang tamu, sedang menunggunya. Wajah kedua nya sangat marah. Bahkan Lia tak berani menatapnya. Ia mulai jalan perlahan. Namun terhenti kembali setelah Papa memanggil nya.
“Kamu dari mana?”
“Main.”
Papanya tersenyum kesal. “Mulai sekarang, kamu gak boleh pulang diatas jam tiga. Berhentilah bermain dengan grup dance mu atau aku akan memindahkan mu kesekolah umum!” kemudian ia masuk ke kamarnya. Meninggalkan Lia dengan hati yang hancur.
Mamanya mendekati Lia. “Turuti kata-kata Papamu. Dia tahu apa yang terbaik buatmu.” Lia menunduk makin dalam. Memegang lengan kanannya yang terasa sakit seiring air mata nya mengalir. ”kenapa?” Mama nya mencoba melihat lengan memar itu.
Lia berusaha melepaskan genggaman Mama nya. Tapi ia kalah karena tiba-tiba Mamanya menangis. “Ini kenapa? Kamu jatuh dimana? Mama liat sprei dan gordin terikat menjulur ke bawah dari jendela. Kamu turun lewat sana, kan? Kamu jatuh disana?”
Lia tetap bungkam. Setengah mati ia berusaha menghentikan tangis dan menahan emosi nya.
“Ini permintaan Mama, jangan menari lagi. Mama sayang sama kamu. Turuti kata Mama, ya. Mama mohon.”
Inikah akhirku? Maafkan aku, teman-teman. Ia membatu di hadapan Mama nya yang masih menangis.


BERSAMBUNG…

Popular posts from this blog

[REVIEW FILM] Ai Uta: My Promise to Nakuhito (Dari Sudut Pandang Seorang Tokufans)

"POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA" dalam Opini Saya

[REVIEW ANIME MOVIE] Josee to Tora to Sakana-tachi (2020)