Never Give Up! (Part 3)
Bel
pelajaran berakhir telah berbunyi. Kalian tahu, hari begitu cepat berlalu.
Karena saat ini bahkan pelajaran hari senin telah selesai mereka lewati.
Adhan
dan Eza sudah di ruang latihan semenjak bel pelajaran ke delapan tadi. Mereka
memilih bolos pelajaran Matematika daripada tiba-tiba meledak di depan Pak
Rogel karena kekesalan mereka masih berlanjut sampai sekarang.
Ria
dan Monika datang menyusul, siap dengan celana olahraga yang akan mereka pakai
untuk latihan.
“Mana
Lia?” Adhan berlagak mengabsen anggota nya.
“Tadi
gue ke kelas nya. Teman-temannya bilang dia gak masuk karena sakit.” Ria
menjelaskan.
“Apa
luka nya separah itu?” Monika cemas, diikuti oleh Eza yang ikut berdiri. “kita
harus jenguk dia.”
“Tapi
kita gak tahu alamatnya, kan?” Eza menimpali.
“Kita
cari aja di buku daftar siswa di tata usaha. Pasti ada.” Adhan mengusulkan.
Tiba-tiba
ponsel Ria berdering. Panggilan dari Papa nya. “Halo, Pa?”
“Halo, Ria? Kamu bisa pulang
sekarang? Dedek kamu mau lahir.” Suara Papa nya terdengar
di seberang.
“Hah?
Mama mau lahiran? Iya iya, Pa. Ria balik sekarang. Dimana Mama sekarang?”
“Kami sudah di praktek Bidan Ririn.
Hati-hati, ya.”
“Gue
kudu balik. Mama mau lahiran.”
“Hah?
Lahiran?” Eza mendadak panik. Heboh sendiri. “jadi, jadi gimana? Lahiran
dimana?”
“Ya
di bidan lah. Sorry, ya, gue gak bisa
ikut jenguk Lia.” Ria mengemasi celana nya kembali ke dalam tas.
“Gak,
gak. Kita harus ikut liat Mama kamu dulu.” Adhan mengusulkan. “biar urusan Lia,
kita tunggu saja. Siapa tahu dia masuk besok.”
Monik
mengangguk, disusul Eza sambil menyeringai. “Makasih, ya, teman-teman.”
***
“Waah..
terimakasih sudah mau datang.” Papa Ria menyambut Ria, Adhan, Monika dan Eza.
“Ria gak maksa kalian buat nganter dia, kan?”
“Haha,
gak kok, Om. Kita sendiri yang mau dateng liat Tante lahiran.” Adhan tertawa
sopan. Disusul Eza yang tertawa lepas.
“Haha…
iya, Om. Mana dedek nya? Udah keluar belum?”
Monik
yang merasa malu dengan sikap Eza langsung saja spontan menepak kepala Eza.
Hingga ia terdiam.
“Haha,
kalian memang lucu. Udah, kok. Dedek udah keluar sekitar jam tigaan.” Papa Ria
tersenyum. “ngomong-ngomong, kalian masih latihan dance?”
“Masih,
Om. Kami akan terus berlatih. Tak lama lagi pasti ada kompetisi lain. Kami niat
buat ikut.” Adhan menjelaskan dengan penuh semangat.
“Baguslah.”
Papa Ria tersenyum. “tapi, Om minta maaf sebelum nya. Karena Mama nya Ria
lahiran begini, Om rasa Ria gak bisa ikut latihan bareng kalian untuk beberapa
waktu. Om harus tetap kerja, jadi Ria harus menemani Tante karena Nenek nya Ria
hanya menemani Tante sampai Ria pulang sekolah.”
Adhan
kehilangan semangat nya begitu menyadari seorang lagi anggotanya akan
berhalangan, begitupun dengan Eza. Monik yang beberapa saat sebelum nya sibuk
dengan ponsel nya kini tampak gelisah.
Hanya
Ria yang menyadari hal itu. “Lo kenapa, Mon?”
Monik
terlonjak kaget. Wajahnya benar-benar cemas. “Gue rasa, gue harus pulang
sekarang.”
“Eh?
Kenapa?”
“Om,
Monik izin pulang duluan, ya. Ada urusan mendadak.” Monik langsung mengubah
fokusnya pada Papa Ria.
“Oh?
Cepat sekali?”
“Ada
apa, Nik?” Adhan tampak curiga.
“Papa
gue sms, nyuruh balik.”
“Yasudah,
hati-hati, ya, Monik.” Papa Ria tersenyum.
Buru-buru
Monika pergi dari sana. Kemudian berlari kecil seolah-olah ia memang sedang
dikejar Papa nya. “Monik kenapa?”
***
Kini
ada di rumah Monika. Ia sedang menangis disamping Papa nya. Di hadapannya, Mama
tertidur lemas. Ia pingsan begitu mengetahui sesuatu yang buruk terjadi. Papa
Monika mengalami kerugian besar dalam perusahaan nya. Walau tak sampai bangkrut,
tapi ini sangat mempengaruhi kehidupan mereka.
Pasal
nya mereka harus menggadaikan dua buah mobil, satu sepeda motor, dan beberapa
emas simpanan Mama nya demi menutupi sejumlah hutang perusahaan.
“Sudah,
kenapa masih ditangisi, sih?” Papa Monik mengelus kepala Monik.
“Tapi-
gimana- Monik- mau- sekolah, Pa?” ia memaksakan diri untuk bicara sampai-sampai
sesegukan.
“Sekolah
ya tetap sekolah. Uang simpanan kita masih, kok. SPP Monik masih bisa Papa
tanggung. Tenang saja.”
“Terus-
Monik- kudu- jalan kaki, ya- Pa?”
“Ya
ampun, jadi itu yang kamu khawatirin?” Monik mengangguk. “kamu kan bisa naik
angkutan umum. Gak usah naik taksi. Kita harus hemat biar bisa beli mobil baru
lagi.”
“Tapi,
Pa- Monik malu. Nanti- apa kata- temen Monik?” ia masih sesegukan.
Papa
nya jadi pusing menghadapi anak manja nya ini. “Sudah, kalau kamu malu,
terserah kamu mau sekolah apa gak.”
Mendengar
itu Monik malah menangis lebih keras lagi. Benar-benar cobaan untuk Papa nya
Monika. Hutang masih ada, istri nya tak kunjung siuman, ditambah tangis anak
nya yang sudah dewasa. Aku yakin seketika itu juga migrain nya kambuh.
***
Seminggu
berlalu tanpa terasa. Adhan dan Eza tengah berdiri di gerbang sekolah, menunggu
seseorang. Dan tak lama, orang yang ditunggu akhirnya muncul.
“Lia?”
Eza kegirangan menghambur kearah Lia. “lo gak apa, kan, Li? Ya ampun, gue beneran
kangen sama lo.”
Lia
hanya tersenyum senang mengetahui ternyata teman-teman nya merindukan
kehadirannya. Adhan ikut mendekat. “Gimana, Li? Udah sembuh?”
“Gue
emang gak apa-apa, kok.”
Dan
dari kejauhan, Ria dan Monik dapat melihat ketiga temannya itu. “LIAAAA……”
mereka menghambur ketubuh Lia. Memeluk nya penuh rindu.
“Aduh,
lebay nya kalian belum sembuh rupanya.”
“Eh
Li,” Eza menginginkan perhatian Lia. “Ria punya dede baru, loh. Kita ke
rumahnya yuk siang ini.”
“Oh
ya?” ia tersenyum senang. Tapi, beberapa saat kemudian senyum itu hilang.
“Kenapa,
Li?”
Hening.
Angin semilir berhembus membuat suasana kian terasa membekukan. “Maaf, gue gak
bisa ikut.”
“Kenapa?”
Ria tampak kecewa.
Tiba-tiba
seorang lelaki paruh baya mendekati mereka. “Apa kalian teman dance Lia?”
Kelima
nya menoleh kearah orang itu. Lia terkejut mengetahui Ayah tiri nya belum pergi
karena tadi memang ia diantar oleh nya. Tapi, karena keempat temannya belum
tahu, mereka hanya bingung sambil mengangguk bersamaan.
“Saya
Papa nya Lia. Jadi, saya mohon untuk tidak mengajak nya menari lagi.” Lelaki itu
langsung bicara pada inti nya. Mereka yang tidak kuat dengan keadaan karena
terlalu tiba-tiba hanya bisa terdiam seribu kata. Tapi, Adhan ternyata berusaha
menata kalimat.
“Maaf,
Om. Tapi, ini adalah cita-cita Lia. Hanya ini yang Lia sukai. Om tak boleh
melarang nya begini.”
“Saya
punya alasan untuk melakukan ini, Nak. Kalian tak akan mengerti.” Orang itu
berdalih.
“Tidak,
Om. Lia adalah sahabat kami. Kami tahu apa yang ia rasakan.” Dengan ucapan
Adhan yang satu ini, Lia benar-benar terkejut. Selama ini yang ia pikirkan
disana adalah hanya untuk cita-cita nya. Ia tak terlalu berpikir bahwa ia
adalah sahabat mereka.
“Saya
mohon, Om.” Adhan tak tanggung-tanggung untuk berlutut di kaki lelaki itu. “izinkan
Lia bergabung bersama kami. Tanpa nya kami tak bisa melanjutkan persahabatan
kami. Saya janji, Lia tak akan mengalami hal ini untuk kedua kalinya.” Ia menatap
mata Ayah tiri Lia. “saya janji, Om.”
Hening
sejenak. “Baiklah, saya beri kesempatan satu kali saja. Jika janji mu itu tak
bisa dijaga, maaf jika Lia akan saya pindahkan ke sekolah lain.”
Adhan
mengangguk penuh rasa percaya. Ria, Monik dan Eza juga ikut mengangguk saling
menguatkan. Ayah tiri Lia menatap kearah anak tiri nya. Lia pun hanya bisa
menatap penuh harap kepada ayah nya.
Ada
ekspresi terkejut di wajah ayahnya saat melihat tatapan Lia saat itu. Tatapan yang
tak pernah ia lihat sebelum nya. Kemudian semburat senyuman keluar di bibirnya.
Lia tak tahu apa artinya itu.
“Saya
harus pergi kerja. Jaga diri kalian.”
Ia
pun pergi meninggalkan kelima anak itu dalam hening.
***
Hari-hari
berlalu begitu cepat. Mereka berlatih seperti biasa meski di rumah Ria, sehingga
ia bisa tetap berlatih meski harus menemani Mama dan Dedek nya. Untung teras
belakang rumah nya luas kayak lapangan badminton.
Jadi mereka bisa berlatih disana.
Monika
akhirnya bisa menerima keadaannya setelah ia memberanikan diri untuk
menceritakan bahwa sebagian perusahaan ayah nya bangkrut dan ia harus pergi
lebih pagi untuk perjalanan dengan angkutan umum daripada sebelum nya. Tapi,
setidak nya sekarang ia senang karena Eza bersedia menjemputnya setiap pagi.
Dan,
benar-benar tak terasa bahwa hari itu adalah hari terakhir mereka berlatih
untuk kompetisi dance kedua mereka.
“Besok
kita harus total.” Adhan merangkai kalimat penyemangat untuk tim nya. “kegagalan
yang kemarin kita jadiin pelajaran. Eza, jangan lupa bawa SIM dan STNK, siapin dari
malem ini dan jangan nonton sampe tengah malem.”
Eza
mengangguk. “Lia, lo jangan berani lagi keluar lewat jendela. Usahain jangan
ada tubuh lo yang terasa sakit sebelum kita perform.”
Lia pun mengangguk.
“Monik,
Eza bakal jemput lo. Gue jemput Lia. Ria minta anter bokap bisa, kan?” Keempat
nya mengangguk mengerti. “kita akan menggila besok. Siapin diri kalian
masing-masing.”
“FiveCraz,
go!!”
* * * * * * *