I'm a Girl
Yahh~~ ini adalah cerita yang request sama teman saya, yang inisial nya Empitria Kuntari. Sebelumnya sih saya minta maaf karena dipenuhi nya lamaaaaaaaa sekali sejak permohonan nya diajukan :D yah, by the way, masih ada satu request lagi, lho.
Oke. Kepada Empit, maaf jika cerita nya absurd. Wong author nya aja absurd. Wajar dong. Tapi yang jelas, semoga terhibur dengan Cerita Absurd ini. I love you, Empit.... HAHAHA.......
*****
Kulirik
jam digital di atas nakas. Lampu nya telah berangka 06.15. Kupikir aku harus
segera berangkat.
Ku
ambil kunci sepeda motorku di atas meja belajar, pergi berpamitan dengan Ayah
dan Ibu ku, lalu melajukan sepeda motor bebek ku.
Tak
ada yang menarik di sepanjang jalan. Setidaknya itu menurutku. Karena aku tidak
memperhatikan sekitar. Pandanganku hanya lurus ke depan.
Hingga
tak sampai limabelas menit aku telah tiba di depan gerbang sekolahku. Sekolah
yang setiap hari menjadi tempat pertemuanku dengan guru dan juga teman sejak
hampir dua tahun ini.
Aku
turun dari sepeda motorku. Kemudian mendorong nya sampai ke lapangan parkir.
Lagi-lagi, pandanganku hanya lurus ke depan. Bahkan helm ku masih menempel di
atas kepala.
Hingga
saat aku tiba di lapangan pakir, seseorang yang baru-baru ini hampir menyita
separuh perhatianku, tepat berada di sampingku, yang juga tengah memarkirkan
sepeda motornya.
“Oh,
hai. Selamat pagi, Fita,” sapanya.
“Hai,
pagi, Ridwan.”
Rasanya
untuk beberapa saat aku tak sadarkan diri bahkan aku sempat lupa bernapas
karena tiba-tiba saja ia menyapaku begitu.
“Emm,
aku masuk duluan, ya. Aku belum selesai buat PR,” ujarnya lagi.
“Ah,
ya. Silahkan,” jawabku singkat. Bibirku masih terasa kaku.
Ia
tersenyum, lalu melambai kecil dan berlari memunggungiku.
Dia
Ridwan. Lelaki itu berada di kelas yang berada di sebelah kelasku. Bisa
dibilang, tetangga kelas. Sejak lomba baris-berbaris yang diadakan sekolah
bulan lalu, aku selalu memperhatikan orang itu. Kebetulan saat itu ia adalah
panitia nya. Sampai-sampai aku melakukan satu kesalahan dalam barisan karena
kurang fokus.
Aku
selesai memarkirkan sepeda motoku dengan benar, kemudian bergegas masuk ke
kelas karena aku yakin sebentar lagi bel pertanda dimulainya pelajaran akan
segera dikumandangkan.
***
Aku
bukanlah perempuan manis yang feminin—meski beberapa teman mengatakan wajahku
manis karena tahi lalat yang bersarang di atas bibir ku. Lebih menyukai
kegiatan yang berbau lapangan ketimbang jahit-menjahit apalagi memasak. Itulah
alasan kenapa aku mengikuti Pramuka, dan Taekwondo ketika duduk di bangku SMP
dulu.
Beberapa
teman ku pernah bilang, setidaknya aku harus memiliki rasa suka pada seorang
lelaki. Dan sudah kubuktikan itu. Hanya saja aku bingung harus diapakan
perasaan ini setelah memiliki nya.
Ridwan
adalah anggota OSIS. Rasanya mustahil bila aku memilih untuk berharap
mendapatkan perhatian lebih dari orang itu mengingat aku bukanlah siapa-siapa
di sini. Ia juga tampan. Bukan hal mudah untuk memperjuangkan nya.
Tapi,
apakah begitu penting hingga aku harus bersusah payah hanya demi menunjukkan
bahwa aku bisa menyukai seorang lelaki pada teman-temanku?
“Iya,
dong,” ujar Reni, teman sekelasku, “selera mu sudah bagus sekali. Sayang kalau
tidak ditindaklanjuti. Atau mau di-comblangi?”
“Kamu
ngomong apa, sih, Ren?”
“Yah,
mungkin aku harus jadi mak comblang.”
Aku
pasrah. Reni tidak akan mau kalah bila berdebat dengan ku. Lagi pula, ia tak
akan punya relasi untuk meyampaikan rasa ku pada Ridwan.
Reni
berdiri, kemudian keluar melalui pintu kelas. Ia mengedarkan pandangannya,
entah mencari apa. Hingga akhirnya ia tersenyum dan berlari menghampiri apapun
yang tengah ia cari. Aku sungguh tak peduli. Perut ku lapar, hingga seluruh
fokusku hanya ku serahkan pada nikmatnya siomay yang tengah ku lahap.
Tak
lama kemudian, sesosok lelaki yang sungguh ku kenal siluet nya memasuki kelas,
mendekat ke arah ku, dan menyapa dengan ringan seperti biasa.
“Hai,
Fit, ada apa?” Ridwan menyapa ku.
Seakan
siomay yang baru saja melewati kerongkonganku akan kembali keluar. Ini pasti
ulah Reni. Ia pasti mengatakan sesuatu pada Ridwan seperti….
“Kamu
mau ngomong apa?” tanya Ridwan, sesuai prediksi ku.
“Ya?”
tanyaku pula, dengan tampang bodoh sambil berusaha menelan kembali siomay yang
kini terasa menyangkut di kerongkongan.
“Reni
bilang kamu mau bilang sesuatu.”
Tepat sekali dugaanku,
batinku.
Ia
tampak menunggu apa-yang-ingin-ku-katakan hingga aku selesai menelan. Bahkan ia
sempat menyuruhku pelan-pelan saja.
“Ya,
hanya sedikit penasaran tentang soal ulangan harian kesenian besok.
Dengar-dengar kelas mu sudah ulangan, kan?” jawabku akhirnya. Entah darimana
ide kebohongan itu datang menghampiri separuh kesadaranku.
Ia
sempat ber-oh panjang sebelum akhirnya melepaskan senyum maut yang hampir
selalu melemaskan sendi-sendi ku (atau bahkan semua gadis yang mengagumi nya).
Kemudian ia memberikan kunci sukses ulangan keseniannya kemarin secara
cuma-cuma.
“Terimakasih
banyak, Wan. Padahal tadi sekadar iseng-iseng. Siapa sangka Reni akan langsung
bilang ke kamu,” ujar ku setelah mendapat pencerahan soal ulangan kesenian,
mencoba melimpahkan semua dakwaan pada Reni.
“Tak
masalah. Jika ada perlu, langsung saja datang pada ku. Insya Allah, aku akan
bantu selagi bisa.”
“Terimakasih
banyak, lho,” ujarku yang diam-diam
meleleh di hadapannya.
Kemudian
ia berbalik setelah melempar senyum santai nya padaku. Melangkah keluar kelas,
meninggalkan aku yang masih terpana memandangi punggung nya yang gagah.
“Awal
yang baik.” Tiba-tiba suara Reni terdengar dari arah punggungku. Ternyata ia
mengintip dari balik jendela kelas.
Aku
mengulum senyum menatap Reni yang tersenyum lebar. Dalam hati kuucapkan
terimakasih atas usaha iseng nya ini.
***
Aku
tersenyum puas menatap selembar kertas hasil ujian kesenianku. Nilai ku nyaris
sempurna. Sembilan puluh sembilan. Itulah angka yang tertulis di sana. Ridwan
sungguh memberiku petunjuk akurat. Hingga semua yang ku hafalkan adalah soal
ujian nya.
Hari
ini, aku berniat untuk tidak menguncir rambutku. Sesekali aku ingin
membiarkannya tergerai. Hari ini pun tak ku bawa serta sepeda motorku menuju
sekolah. Aku ingin Ayahku mengantarku pergi ke sekolah. Entah lah.
Baru
selangkah kaki ku menapak ubin kelas, suasana mendadak ramai. Teriakan seperti
“uhui!” ataupun siulan-siulan nakal terdengar di antara suara-suara yang lebih
nakal lainnya.
“Wah,
tumben sekali, Fit. Rambut digerai. Aduh, cantik banget,” ujar Reni, penuh
semangat di pagi hari.
Aku
hanya tersenyum. Sebenarnya telah ku siapkan semua ini. Aku yakin akan reaksi
teman-teman sekelas ku, yang memang belum pernah melihat sosok ku yang lain kecuali
rambut yang selalu dikuncir bak ekor kuda.
“Jadi,
ini untuk siapa?” tanya Reni.
“Apanya?”
“Penampilan
baru ini, lah.”
“Bukan
untuk siapa-siapa, kok.”
“Eh,
ada apa nih, ramai sekali.” Tiba-tiba suara itu membuat bulu roma ku meremang.
Suara khas itu bukan lain adalah milik Ridwan.
“Eh,
pas sekali,” seru Reni, “nih, Wan, ada yang baru dari Fita.”
Ridwan
dengan senyum nakal yang baru kali ini ku lihat mencoba melirik ku dari depan.
Dan begitu mata kami saling bertemu, rasanya muka ku memanas. Mungkin pipiku
sudah merah.
“Wow,
kamu cantik sekali, Fit,” ujarnya, tanpa diduga.
Ia bilang aku cantik? Apa ini
mimpi?
Rasanya
aku baru tersadar bahwa aku adalah seorang gadis remaja seutuh nya. Aku hanya
mampu mengulum senyum seadanya. Tak ingin terlihat terlalu senang, aku segera
berdalih meletakkan ransel ku di meja.
Semua
orang di kelas telah sibuk dengan urusan nya masing-masing. Bahkan Ridwan—yang ternyata
datang ke kelas ku karena ingin melihat pekerjaan rumah milik Dony, teman
sekelasku—kini telah sibuk melihat buku yang ia jadikan tujuan kemari.
“Jadi,
gimana? Mumpung orang nya disini,”
tiba-tiba Reni menohok perutku dengan siku nya.
“Jangan
aneh-aneh, ah, Ren.”
Aku
tak mendengar jawaban lain selain tawa nakal Reni sebelum akhirnya
meninggalkanku. Aku berencana kembali berkutat dengan tugas yang belum kuselesaikan.
Tapi, semua itu gagal. Konsentrasi ku tiba-tiba terburai karena Ridwan berada
di sampingku.
“Coba
setiap hari kamu biarkan rambutmu tergerai,” ujarnya sembari tersenyum.
“Ah,
gerah. Aku tak nyaman,” jawabku, sekenanya.
“Tapi
cantik, lho. Biasanya gadis-gadis
tidak peduli dengan gerah, yang penting penampilan nya oke.”
Ya, tentu aku seorang gadis.
***